Derby Tanah Deli, Kapan Lagi?


 Oleh : Luthfi F. A. Harahap (Medan, 30 April 2021)

Selamat hari jum'at para pembaca, sudah lama jari-jemari lentik ini tidak berdansa. Guna melatih kemampuan kognitif dan mengasah sinkronisasi motorik antara otak dan tubuh yang melahirkan rangsangan imajinasi, maka saya kembali menyajikan cerita yang mengharapkan para pembaca mengikuti alur dan ritmenya sambil menikmati dengan santai di boncengan.

Sekitar dua minggu yang lalu, saya bersama seorang teman pergi ke daerah Batangkuis melihat lokasi perumahan-perumahan subsidi yang bakal dibangun, diusia yang kian dewasa mulai muncul niat hendak membeli rumah buat persiapan seumpama ada perempuan yang silap mau diajak berumahtangga selepas lebaran nanti. Ternyata, jiwa petualang kami pun tak hanya berhenti sampai di situ, kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju ke Tanjung Morawa sembari menyinggahi seorang teman lain yang memiliki kedai di sana untuk mencari jajanan. Sesampainya di sana, beberapa cemilan makaroni dan tiga gelas teh yang tersaji juga ikut mengambil bagian dalam perbincangan ringan kami di waktu jajan-jajan santai kala itu.

Teman kami ini adalah seorang suporter PSIM Yogyakarta. Diawal cerita bahan obrolan kami jelas membahas perkembangan sepakbola nasional terkini, lalu berlanjut pada soal kematangan tim masing-masing sembari bercanda dengan psywar kecil, karena mengingat PSIM Yogyakarta juga merupakan salahsatu kompetitor PSMS Medan di Liga 2 yang semoga gak ketunda-tunda lagi. Ada beberapa hal yang membuat saya tertarik pada obrolan kami ini, misalnya seperti literasi suporter tim-tim Jawa yang sudah lebih matang dan penegasan identitas yang benar-benar telah terbungkus rapi dan merata. Tiba-tiba obrolan kami singgah di derby Mataram dan rivalitas Indonesia-Malaysia. Ini benar-benar menarik. Saat kami membahas derby dan rivalitas, kami menyimpulkan sebuah benang merah, bahwa sebenarnya apa yang terjadi di atas lapangan hijau murni karena permainan antara kedua tim selama 2×45 menit (bolehlah ditambahin extra time dan adu penalti jika diperlukan), namun yang membuat derby dan rivalitas memiliki aura khas tertentu, karena adanya sebab-sebab lain dan bumbu pemanis dari aspek-aspek lain di luar lapangan. Sekali lagi sepakbola memamerkan keunikannya.

Misalnya begini, dibandingkan Malaysia sebenarnya ada tim-tim lain yang bikin timnas kita kewalahan, seperti Thailand, Singapura atau belakangan Vietnam juga ikut-ikutan. Kembali lagi, kenapa harus pas lawan Malaysia nuansa mengikuti pertandingannya itu lain? Kadar tensi dan tegangnya itu beda? Ya, boleh jadi karena Indonesia-Malaysia punya hubungan bilateral yang pasang-surut dalam perjalanannya. Mulai dari Konfrontrasi Kalimantan Utara, keluarnya Indonesia dari PBB sampai sengketa tapal batas dan lain-lain. Cobalah kalau pas AFF atau SEA Games kita gak ketemu Malaysia pasti kayak ada yang kurang bukan? Kayak makan pajri gak pake nenas, apa yang mau dimakan?

Ketika kami ngobrol soal derby Mataram, kami seperti digiring kembali ke pertengahan abad 18. Suasana berubah seolah kami berada di antara kubu VOC, Pakubuwono II, dan Pangeran Mangkubumi yang sedang menyiapkan Perjanjian Giyanti sebelum terbelahnya Mataram. Jika dikaji secara rasional sebenarnya peristiwa tersebut sama sekali jauh kaitannya secara langsung dengan sepakbola yang kita mainkan sekarang. Namun peristiwa tersebut terkadang dijadikan pemantik yang meningkatkan atmosfir derby di sana. Menurutku itu seru, di sisi lain, dapat disimpulkan bahwa mereka memiliki literasi yang baik dan sangat dalam, sehingga sempat-sempatnya mengkaitkan pada peristiwa tersebut, seolah menerjemahkan bahwa mereka benar-benar mengingat apa yang pernah terjadi dalam bab sejarah mereka.

Lalu, bagaimana dengan kita? Derby kita? Derby Tanah Deli? Di era Liga Indonesia bergulir, setelah dileburnya Perserikatan dan Galatama, ada tiga tim dari Sumatera Utara yang mengambil panggung di kasta tertinggi sepakbola nasional, PSMS Medan, Medan Jaya, dan PSDS Deli Serdang yang kebetulan ketiganya berdomisili di Tanah Deli. Derby Tanah Deli sendiri erat kaitan dengan pertemuan PSMS Medan dan PSDS Deli Serdang. Mengapa demikian? Selain karena sejarahnya lebih panjang, boleh jadi karena kedua tim ini sama-sama menyematkan daun tembakau deli pada logonya, itu opiniku. Dengan menyematkan hasil tani yang menjadi simbol kekayaan kampung kami adalah sebuah bentuk penegasan identitas! Oke, kita batasi cukup di situ, jangan lagi ungkit-ungkit logo, intinya logo dan daun tembakau itu punya kita.

Kata "Tanah Deli" sendiri merujuk pada tanah air Kesultanan Deli yang pernah berdaulat dan berpusat di Medan yang sampai kini masih tetap eksis, meski sudah tidak lagi mempunyai kekuatan politik. Di dalam perjalanannya, Kesultanan Deli sempat menemui kemelut internal di kalangan istana yang berujung pada lahirnya Kesultanan Serdang yang berpusat di Perbaungan. Sehingga penamaan Kabupaten Deli Serdang dirujuk pada nama kedua kesultanan tersebut. Lalu pada tahun 2003 Deli Serdang mengalami pemekaran yang melahirkan satu Kabupaten baru yaitu Serdang Bedagai. Sedangkan Medan dan Tebing Tinggi sudah dianggap mandiri sejak awal sebagai Kotamadya. Dapat kita simpulkan bahwa saat ini wilayah Kesultanan Deli yang pernah berdaulat telah terbagi menjadi 4 Kabupaten/Kotamadya ; Deli Serdang, Medan, Serdang Bedagai, dan Tebing Tinggi.

Lewat kacamata saya yang minus 3 ini, derby Tanah Deli tetap punya derajat rivalitas tersendiri meskipun kerap mencuatkan atmosfir persaingan kompetitif, gengsi, dan eksistensi, namun derby Tanah Deli punya keunikan lain yang mungkin jarang ditemui di derby-derby lain, ada semacam romansa yang menegaskan bahwa kami masih dalam rumpun saudara yang sama sebagai orang Deli, kadar rivalitas selalu dapat diimbangi oleh nuansa reuni yang kuat. Kalau boleh saya ambil persamaan, mungkin seperti timnas Albania ketemu timnas Kosovo.

Belakangan, derby Tanah Deli hanya dapat kita saksikan lewat ajang-ajang uji coba, terakhir ketika PSMS Medan menang 0-3 di Lubuk Pakam 2019 lalu. Besar harapan kami PSMS Medan dan PSDS Deli Serdang kembali menjangkau dan menjadi tandem di kasta tertinggi sepakbola nasional. Sudah saatnya kedua tim lebih getol melakukan riset dan pembenahan dalam berbagai aspek agar dikelola dengan semakin baik dan lebih profesional, sehingga mampu melahirkan kesiapan tempur dan daya saing yang lebih padu di masa ketatnya mekanisme kompetisi di era sekarang ini. Bagi kami yang telah memilih untuk mendukung PSMS Medan, Deli tetaplah hijau, dan akan selalu hijau sehijau daun tembakau yang matang, namun kami tidak akan pernah lupa bahwa kuning pun adalah bagian dari warna kebesaran kami sebagai kawula Sultan Deli.


Jadi, derby Tanah Deli, kapan lagi?
Tabik, setabik-tabiknya.

Comments

  1. derby tanah deli. sedikit bertanya tentang derby ini, dari tadi pembaca disuguhi yg namanya histori dan rekam persaudaraan dua wilayah ini, apakah selama perjalanan derby ini memang tidak ada gesekan dan kericuhan ? sedangkan yg kita tau namanya derby itu pasti tidak jauh dari kata gesekan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sejauh ini memang belum pernah ada catatan gesekan atau kericuhan baik ketika main di Medan atau di Deli Serdang.

      Delete

Post a Comment