Kombur Kinantan Kita (5) Positive-Negative Modern Football


K3 #5

Pesat laju globalisasi turut membonceng sepakbola pada salahsatu rangkaian gerbongnya. Fenomena ini dirasakan bak sebuah koin, memiliki dua sisi berlawan dalam satu bentuk. Berangkat dari hal tersebut lahirlah sepakbola modern yang kita kenal dewasa ini. Sepakbola bukan lagi sekedar berlari dan mencetak gol, namun telah merambat luas ke berbagai aspek yang paling mencolok perhatian yaitu ketika sepakbola telah melekat dengan politik dan ekonomi saat ini.
Lalu, baikkah sepakbola modern itu? Ya, bisa saja kita sebut baik. Jika tidak dengan maksud baik manalah mungkin muncul inisiatif kelahirannya. Lantas mengapa bisa pula ada slogan "against modern football"? Berangkat dari situ muncullah keinginan kami untuk mengangkat topik soal sepakbola modern ini ke meja diskusi kami malam minggu itu dan kami hendak mencoba menarik benang merah ke PSMS kita yang Katanya memang sedang tidak baik-baik saja. Ya, waktu itu kami coba beranjak sejenak dari tikar sakti kami, bergeser sebentar ke meja-meja di sebuah kedai kopi kekinian di jantung Kota. Beberapa jam malam itu, kami b erkombur layaknya para aristokrat.
Menurut kacamata kami, ini soal sudut pandang, cinta dan logika merupakan dua hal yang berlawanan namun selalu dituntut selaras. Baiklah, malam itu ada empat orang narasumber bersama kami. Kombur dibuka lewat pengantar oleh moderator, lalu mulailah narasumber pertama memaparkan paparan tentang pengelolaan sebuah tim. Narasumber kami ini adalah seorang pengurus tim komunitas di kota Medan, Johor United. Menurut yang kami tangkap, bahwa pengelolaan tim professional dan tim semiprofessional seperti tim komunitas ini, agak mirip tapi tak sama. Misalnya, dari segi pendanaan, tim komunitas masih mengandalkan asupan dana kolektif dari pengurus-pengurusnya, kalau pun ada tambahan lain seperti merchandise jangkauan pasarnya masih belum terlalu kuat. Terlepas dari itu, poin pentingnya ialah lewat tim-tim komunitas seperti Johor United ini, tim professional memiliki wadah untuk mencari bibit-bibit pemain berbakat.
Kombur mulai bergairah, dan moderator mencoba memantik, lalu mempersilahkan narasumber yang kedua untuk mengembangkan pembahasan. Kali ini dari sudut pandang seorang pewarta. Nah, pada segmen ini nama PSMS mulai disebut, seisi ruangan lebih antusias. Garis besar dari paparan narasumber kami ini ialah bahwa PSMS kita saat ini masih berada pada tahapan penyesuaian untuk mampu mengimbangi apa yang dituntut di era sepakbola modern. Misal, dalam lingkup sarana dan pra-sarana masih banyak yang harus diperbarui, belum lagi pengelolaan, cara-cara di masa amatir lampau beberapa masih lestari hingga kini. Selanjutnya beliau juga menghimbau bahwa harus ada sinergi antara PSMS dan fans, selain sebagai aset penting pemasukan tim lewat tiket, fans memiliki peran emosional yang cukup kuat dalam perjalanan sebuah tim.
Setelah itu, diskusi semakin alot, seorang peserta diskusi memberi tanggapan. Selanjutnya arah kombur merembet ke soal sengketa logo. Kami sepakat, apa pun motif dan latarbelakang sengketa logo ini, itu sangat membuat seluruh anak-anak Medan gerah. Satu dari sekian dampak negatif buah dinamika sepakbola modern.
Perihal sengketa logo ini, kami beruntung narasumber kami yang ketiga merupakan seorang akademisi senior yang menyimpan arsip-arsip panjang PSMS. Menurut beliau, mengapa hal tersebut bisa terjadi merupakan efek domino dari dualisme liga nasional beberapa tahun lalu. Lagi-lagi soal legalitas. Lalu beliau mencoba meninggalkan sebentar bahasan soal sengketa logo yang menjemukan itu. Kami pun diajak menjelajahi lorong waktu dengan cerita-cerita agung tempo dulu, ya kami senang. Beliau memiliki keyakinan kuat, bahwa PSMS bisa tampil secara professional, problema yang muncul satu dekade ini merupakan proses menuju ke era pro yang sebenarnya. Karena sebelumnya tim-tim di benua biru, atau pun tetangga kita di Asia Timur Raya sana juga harus melewati masa-masa seperti ini dulunya. Baiklah, kami punya kesimpulan singkat, ini soal waktu bung. Rasa ke PSMS ini adalah rasa yang tepat di waktu salah.
Karena cerita sengketa logo tadi masih gantung, Oleh narasumber kami yang keempat ini coba lagi diurai. Beliau pernah mengisi beberapa pos di PSMS, dan beliau juga memiliki latarbelakang sebagai orang hukum. Lalu ada tanggapan lain dari seorang peserta diskusi, namun arahnya seperti mengaminkan. Ada dua cara memang untuk menyelesaikan sengketa ini. Pertama lewat mediasi yang difasilitasi oleh pihak ketiga (bisa jadi aktivis/fans/swasta) dengan mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa. Cara kedua adalah lewat jalur hukum, tersebutlah sebuah istilah yang mungkin asing bagi kita, putusan NO (Niet Ontvankelijke Verklaard - Belanda). Berdasarkan putusan tersebut soal sengketa ini bisa diselesaikan di Pengadilan Niaga, tergantung jenis NO nya. Apa pun itu caranya, pokoknya yang kami mau sengketa ini cepat selesai.
Di penghujung kombur masing-masing narasumber memberikan closing statement, dari situ untuk mewujudkan sepakbola yang professional ada lima pilar yang harus dibenahi. 1. Infrastruktur 2. Koorporasi yang transparan dan sehat 3. Pengembangan akademi 4. Kekuatan badan hukum 5. Financial dan Marketing
Lalu ada tiga alasan mengapa seseorang mencintai PSMS. 1. Kepentingan yang bersifat politis 2. Kepentingan untuk meraup untung materil 3. Atas dasar cinta.
Silahkan. Pilihan ada pada saudari dan saudara.
Tabik kami. Kita PSMS!
Medan, 24 Juli 2019

Comments