Kombur Kinantan Kita (4) Apa PSMS Di Benakmu?


K3#4

"Everything I know about morality and the obligations of men, I owe it to football" begitu kata Albert Camus. Malam tadi, di tempat biasa kita bekombur tema yang diangkat adalah "Apa PSMS di benakmu?" dan yang kami paparkan tentang apa PSMS di benak kami masing-masing seolah telah dirangkum oleh Albert Camus lewat kutipannya tersebut.

Secara sederhana, PSMS Medan adalah sebuah tim sepakbola yang berdomisili di Medan, yang mana kemunculannya didasari oleh semangat gotong-royong dan hingga saat ini PSMS selalu menjadi kebanggaan anak-anak Medan. Kombur malam tadi sangat alot, dan kami seolah diajak bersafari ke kelas-kelas dari berbagai bidang ilmu.

Baiklah, pertama kami singgah ke fakultas ilmu budaya dan sastra, ketika kita sudah bekombur soal PSMS, sangat tabu rasanya jika kita tidak menyinggung sejarahnya. Sejarah panjang dan nama besar PSMS memang pantas untuk kita banggakan. Ada beberapa hal yang kami kutip dari safari kami di kelas ini, diantaranya awal mula kemunculan PSMS yang dipelopori oleh 6 tim yaitu, Deli Mij, Alwatan, Sahata, Medan Sport, PD Polisi dan Indian Football Team. Enam helai daun tembakau yang terdapat pada logo PSMS dilatarbelakangi oleh hal tersebut. Lalu kami juga bekombur soal awal mula kemunculan julukan Ayam Kinantan, hal tersebut didasari pada saat PSMS menjuarai Perserikatan 1983-1985 ketika tiba di bandara Polonia ada seorang penumpang yang menaiki pesawat yang sama dengan tim PSMS kala itu membawa seekor ayam jago. Julukan tersebut dimunculkan pertama kali oleh Zainul Amir Koto bersamaan dengan sebuah potrait yang memperlihatkan ayam jago pada arak-arakan juara di saat itu. Sejak saat itu muncullah julukan Ayam Kinantan, yang mana sebelumnya julukan PSMS adalah The Killer. Bertambahlah julukan PSMS, dan kedua julukan tersebut selalu familiar di telinga anak-anak Medan hingga kini, yang keduanya bermakna akan sebuah rasa bangga. Safari sejarah terus berlanjut hingga ke era ligina, lalu berlanjut lagi ke ISL dan IPL, dan berujung pada Liga 1 2018. Sepertinya selesai sudah safari kami di kelas fakultas ilmu budaya dan sastra ini. Muncul tanya-tanya baru dan ada beberapa hal yang menurut kami tak dapat terjawab hanya di kelas sejarah sehingga memaksa kami harus bergeser ke kelas yang lain. Sebelum beranjak ke kelas yang lain ada satu keinginan kami, kami ingin Gedung Arsip PSMS yang dulu pernah ada di Jalan Veteran (sekitaran pajak sambu) kembali aktif, karena selain kami yang bekombur tadi malam, pasti banyak anak-anak Medan yang ingin bersafari sejarah tentang kejayaan, pasang-surut dan jatuh-bangunnya kebanggaan kita ini.

Karena pada saat bersafari di kelas sejarah sebelumnya kami menyinggung soal logo, kami agaknya tertarik bergeser ke fakultas hukum sembari mengadukan keluh kesah kami soal dualisme koorporasi kepemilikan PSMS dan soal sengketa logo. Terkait dualisme, artinya ada yang mendua, sebut saja ada PT. X dan PT. Z (kami tak tau-tau soal PT PT itu yang kami tau PSMS ya PSMS). Dari kedua PT tersebut, telah ditetapkan satu PT yang berhak mengelola PSMS selanjutnya menurut keputusan dan legalitas yang berlaku, ya baguslah maka kelolalah PSMS kita dengan baik dan profesional, intinya kami yang berada di akar rumput ini mau tim kampong kami kembali berjaya dan menyudahi lawak-lawak yang semakin tak lawak ini. Karena PSMS kita bukan bahan lawak, ini soal marwah, identitas, dan kebanggaan! Soal sengketa logo cemana jadinya? Kami yang bekombur tadi malam sepakat, walau pun dari kami tak ada yang pakar perihal sengketa-sengketaan ini yang kami mau jangan sampai PSMS terpaksa berganti logo, karena logo tersebut sakral dan sudah sejak dulu-dulu logo dengan enam helai daun tembakau tersebut tampil sebagai bentuk yang mewakili eksistensi Medan dalam mewarnai hiruk-pikuk persepakbolaan Nasional, yang mana secara de facto logo tersebut adalah milik segenap warga Medan. Intinya kami tak mau itu diganti! Kalau itu sampai berganti, maka musnahlah semua cerita sejarah panjang nan agung yang hingga kini selalu kita bangga-banggakan. Oke, sepertinya kami sudah selesai di kelas hukum dan coba beranjak ke kelas lain untuk melanjutkan safari kami pada kombur ini.

Kelas selanjutnya ada di fakultas ekonomi, kelas yang sangat direkomendasikan untuk disinggahi bersafari. Pada segmen ini yang kami komburkan menyinggung soal financial, marketing, dan sponsorship. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa sejak ligina berakhir, PSMS boleh dikata hidup segan mati tak mau, mencoba mengimbangi modernisasi sepakbola yang kian menggilas. Muncul sebuah kesimpulan singkat dari kami, bahwa PSMS adalah sebuah tim profesional yang dikelola secara amatir. Mari coba kita kupas. Sejak berakhirnya era ligina, setiap tim yang akan mengikuti kompetisi sepakbola profesional di Indonesia harus mampu mandiri dan tidak bergantung lagi dengan bantuan APBD, yang dimaksudkan agar tim dapat dikelola sebagaimana perusahaan. Banyak tim yang dahulunya berasal dari kompetisi Perserikatan terkejut, yang mana salahsatunya PSMS. Lalu mengapa kami menyimpulkan bahwa PSMS adalah tim profesional yang dikelola secara amatir? Yang menarik perhatian kami adalah jika PSMS dikelola menurut tata cara sebagai sebuah perusahaan, lantas mengapa PSMS masih memerlukan Pengurus? Bukankah Manajemen dan Pengurus merupakan dua hal yang berbeda? Kombur masih tetap di kelas ekonomi, ternyata kami betah berlama-lama di fakultas ekonomi. Selama satu dekade ke belakang kondisi keuangan tim memang agak meresahkan, nyatanya kultur dan animo anak-anak Medan yang khas dan kuat tak cukup menarik di mata investor-investor untuk menjadi sponsor kebanggaan kita ini. Kami pun bertanya-tanya mengapa PSMS tak bisa memiliki nilai jual untuk menarik sponsor? Enam belas orang dari kami yang bekombur tak ada berucap. Lalu muncul sebuah usul yang menurut kami patut untuk dipertimbangkan mengapa PSMS tak coba menjual saham ke publik agar kepemilikan dapat dimiliki secara bersama dengan harapan agar pengelolaan PSMS lebih transparan dan profesional, serta membuka pintu bagi seluruh anak-anak Medan yang tertarik untuk memiliki sebagian saham PSMS. Kami semakin larut dalam dialektika, kunjungan ke fakultas ekonomi tak hanya berakhir pada pembahasan saham. Ketika hendak keluar dari kelas ekonomi kami sedikit bergumam, ini disebut tanya atau pinta, mengapa PSMS terkesan enggan mengaet suporter dalam soal keuangan? Bukankah suporter merupakan bagian penting dari tim? Misalnya seperti menjalin partnership di bidang merchandise atau pun hal-hal lain yang berkaitan dengan suporter, karena menurut kami suporter adalah nadi bagi timnya.

Selesai sudah safari kami di fakultas ekonomi, selanjutnya kami menuju fakultas teknik. Kombur kami di fakultas teknik hanya di sekitar beranda saja, tak masuk ke kelas. Kami hanya hendah singgah sebentar sembari bertanya sama engineer-engineer di sana, cemananya kabar rumah baru kita? stadion baru kita? Dimana mau dibuat? Kapan mulai bisa dipake?

Demikianlah kombur malam itu. Bak mencari oasis di gurun pasir, kita semua tak sabar menunggu kabar-kabar baik pada musim ini dan seterusnya. Kita pernah jatuh, kita pernah bangkit. Kita pernah berjaya, kita pernah runtuh, namun akan berjaya lagi. Satu lagi, kita juga pernah beberapa kali diduakan. Namun kita tak pernah berpaling, dengan sedikit bumbu edukasi, problema kian mengasah logika, sesuatu yang perlu dikemas secara persuasif agar kian masif memicu kesadaran anak-anak Medan bahwa PSMS adalah kita. Kalau bukan kita yang mengontrol PSMS, lalu sama siapa ini dikontrol?

Tabik kami.

Medan, 16 Juni 2019

Comments