Menyulam Benang-Benang

Oleh : Luthfi F. A. Harahap (Padang, 15 April 2019)


Sudah seminggu saya kembali ke Padang, sebelumnya saya menghabiskan dua minggu berlibur di Medan. Selain bertemu dan melepaskan rindu pada keluarga, saya juga selalu menyempatkan diri untuk mengikuti perkembangan PSMS Medan setiap pulang ke Medan, dengan diskusi-diskusi ringan bersama beberapa teman sesama suporter PSMS Medan. Sebenarnya niat untuk menulis tulisan ini sudah ada sejak di Medan tempo hari, namun karena beberapa kesibukan baru dapat ditunaikan pada subuh ini berteman secangkir kopi di tengah suhu rendah Bukik Karamuntiang.
            Dari cerita-cerita yang saya kumpulkan ketika di Medan kembali tersaji cerita-cerita pilu yang tak ingin didengar, cerita-cerita yang sangat menjemukan, lagunya Lenka yang berjudul Trouble Is A Friend sepertinya sangat melekat erat dengan Ayam Kinantan saat ini. Masalah, masalah, dan selalu betah berteman dengan masalah yang belum nampak titik terangnya. Di saat kompetitor-kompetitor Ayam Kinantan telah fokus menatap kompetisi, PSMS Medan belum menemukan jawaban senjata mana yang bakal dibawa ke medan perang. Ditambah lagi persoalan dualisme kepemilikan kembali muncul kepermukaan, diperparah dengan serangan april mop tentang kabar bergabungnya Shohei Matsunaga ke PSIS Semarang yang mematahkan harapan anak-anak Medan. Sebelumnya Shohei Matsunaga sempat diberitakan hendak dinaturalisasi dan bakal berkostum hijau-hijau pada musim ini, namun batal. Carut-marut administrasi di kubu PSMS Medan benar-benar menyebalkan. Sebenarnya masalah mendasar dalam satu dekade ini selalu saja soal profesionalitas.
            Baiklah, sejenak coba kita tepikan dahulu tengkarnya para elit tersebut, tak patut pula kita menggurui tuan-tuan yang terhormat di atas sana, dan menggeserkan fokus ke kita sama kita para suporter PSMS Medan. Persoalan-persoalan yang muncul tersebut memang bukanlah perkara-perkara yang diakibatkan oleh suporter, namun menurut saya seandainya suporter memiliki suatu hal yang dapat ditimbang tentu problematika semacam itu dapat diminimalisir keberadaannya. Menyulam benang-benang yang saya maksudkan pada tulisan ini ialah sebuah kampanye ajakan untuk merawat akar rumput, karena rumput yang baik ialah yang terawat sejak dari akarnya. Medan merupakan salahsatu kota besar dengan bakat-bakat yang kaya, dengan fanatisme kedaerahan yang besar dan semangat sepakbola yang kuat. Benang-benang adalah sebuah analogi yang saya interpretasikan sebagai anak-anak Medan yang mencintai PSMS Medan. Benang-benang yang tersulam ialah suatu ungkapan kolaborasi sesama anak Medan dalam bersinergi untuk mendukung PSMS Medan. Karena mendukung PSMS Medan tidak cukup hanya dengan bernyanyi puja-puji selama pertandingan berlangsung, dukungan dapat disampaikan lewat beragam cara dan sekedar doa pun sudah termasuk ke dalam bentuk sebuah dukungan. Esensi dari suporter ialah sebagai pengawal tim oleh sebab itu saya memiliki tafsir bahwa suporter memiliki kontrol atas tim. Bagaimana pun cara sebuah tim itu dijalankan kontribusi dari suporternya tidak dapat dipisahkan. Lalu muncul tanya, apa yang hendak kita kolaborasikan dan mulai dari mana?
            Menurut saya ada tiga dimensi yang menjadi dasar dalam upaya-upaya merawat akar rumput, yakni situasi dan kondisi yang dihadapi; aktivitas-aktivitas yang dilakukan sebagai jawaban terhadap apa yang tengah dihadapi; dan gagasan-gagasan yang ditawarkan sebagai bentuk kontrol suporter kepada tim.  Pertama coba kita kaji terlebih dahulu situasi dan kondisi yang dihadapi PSMS Medan dari masa ke masa, di sini saya menekankan betapa pentingnya mempelajari sejarah, karena dengan memahami sejarah berguna untuk mengurangi arogansi dan cakupan sejarah sendiri ialah ruang dan waktu ada tiga dimensi di sana yaitu masa lalu, masa kini, dan masa depan. Artinya sejarah tidak hanya melulu soal kenang-mengenang, di sisi lain kita dapat membentuk kesamaan yang menyatu dalam satu kesatuan sebagai anak-anak Medan yang mencintai PSMS Medan. Selanjutnya coba sama-sama kita pahami bahwasannya tidak ada satu pun tim di dunia ini yang tidak bersinggungan dengan aspek politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Setelah kita telaah soal situasi dan kondisi, harapannya kita memiliki kesadaran terhadap aspek-aspek tersebut, sebab pada situasi dan kondisi tertentu suporter harus mengambil sikap yang bakal menyinggung aspek-aspek tersebut. Lalu kita coba beranjak pada dasar yang kedua yaitu aktivitas-aktivitas yang dilakukan untuk menjawab teka-teki dari situasi dan kondisi. Sebelumnya saya telah menegaskan bahwa anak-anak Medan memiliki bakat yang kaya, bakat-bakat tersebut seharusnya diasah dan kemas rapi lewat karya sebagai bentuk dukungan untuk PSMS Medan. Selain itu bakat-bakat yang menghasilkan karya tersebut dapat dijadikan media edukasi kepada sesama suporter PSMS Medan, seandainya itu tercapai dengan maksimal tentulah dukungan kepada PSMS Medan akan tumbuh dengan skala yang lebih besar, dan mampu menumbuhkan sense of belonging yang kian pudar di tengah-tengah masyarakat Medan, karena memang seharusnya Medan pantas berbangga memiliki PSMS Medan.
Semakin banyak media atau wadah yang memunculkan karya-karya dukungan, maka semakin banyak pula yang menyadari PSMS Medan. Individu-individu sadar tersebut tentulah akan memunculkan gagasan-gagasan yang harapannya dapat tersampaikan ke tubuh manajemen PSMS Medan untuk membawa PSMS Medan menuju ke arah yang lebih baik. Besar harapan saya kepada para pembaca agar terpanggil untuk berkarya dan bersuara dan sama-sama kita dukung dan kawal Ayam Kinantan yang taji dan paruhnya sedang patah ini untuk bangkit kembali menggenggam masa jaya. Selain nama besar, kita juga terlahir dengan potensi besar baik di dalam maupun di luar lapangan. Karena sejatinya PSMS Medan itu untuk menyatukan, untuk membahagiakan, dan bukan untuk memicu tengkar antara kita sama kita.  Di April yang berbahagia ini saya mengucapkan “Dirgahayu PSMS Medan yang ke 69 tahun”, percayalah Ayam Kinantan tidak akan pernah mati.
Medan pantas berbangga memiliki PSMS Medan.

Comments