Musim-Musim dalam Semusim

Oleh: Luthfi F. A. Harahap (Padang, 19 Januari 2019)


Malam itu selalu terkenang di dalam ingatan, ketika saya berteriak dan melompat kegirangan saat Dimas Drajat membobol gawang PSIS Semarang dan menggandakan keunggulan PSMS Medan pada semi-final Liga 2 2017, pertanda hijab Liga 1 2018 telah terbuka lebar dan menyambut. Berbunyi peluit panjang babak tambahan waktu yang kedua, senyum saya melebar, bola-bola mata hanya terpaku ke layar kaca, romansa sepakbola sedang menerjemahkan intuisi yang begitu indah, sedang saya hanya menyimak, menikmati. Sebuah sinyal kebangkitan dari si ayam sakti yang baru saja terjaga dari hibernasi. Saya mulai menerka penuh keyakinan, bahwa ini adalah tanda permulaan baru perjalanan Ayam Kinantan. Hijau kebanggaan Anak Medan seolah turut tumbuh di musim semi.

Menurut Hukum III Newton ada aksi maka ada reaksi, menatap 2018 yang telah lama dinanti beragam reaksi bermunculan dari berbagai pihak yang sedang disinggung sisi “kemedanan”nya baik yang berada di Medan dan sekitar Sumatera Utara atau yang telah menetap di perantauan. Pemko Medan yang sebelumnya cuek juga ikut memberikan perhatian, salahsatu yang kasat mata adalah dengan membuat arak-arakan penjemputan tim PSMS Medan dari Bandar Udara Kualanamu menuju ke pusat kota sehari setelah PSMS Medan menjadi Runner-Up Liga 2 2017. Di balik fenomena kebangkitan PSMS Medan muncul fenomena lain yaitu mendadak pesemes. Sah-sah saja, toh PSMS Medan memang diperuntukkan bagi setiap individu yang memiliki sisi “kemedanan”. Kalau boleh saya ingin memelintir sebuah kutipan dari Tan Malaka yang mana redaksinya menjadi seperti ini “PSMS Medan adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh Anak Medan”. Namun yang sangat disayangkan fenomena mendadak pesemes akan menemui batasan waktu yang membuatnya berhenti, PSMS Medan semata bukan hanya soal eksistensi tapi sebuah dedikasi yang sarat akan makna identitas dan budaya. Sekali PSMS harus tetap PSMS!

Liga 1 2018 pun bergulir, dimulai dari pertandingan tandang melawan Bali United. Beragam cerita dan pencapaian pun memunculkan polemik pada putaran pertama. Musim semi berlalu, musim panas menghampiri. Hasil yang diperoleh pada putaran pertama ternyata sangat jauh dari ekspektasi, yang dianggap sebuah sinyal kebangkitan nyatanya diluar dugaan. Salahsatu yang fatal adalah kekalahan telak 0-3 dari rival abadi Persib Bandung di Stadion Teladan Medan. Pada putaran pertama keangkeran Teladan Tua luntur, ada beberapa tim selain Persib Bandung yang juga berhasil mengamankan 3 poin dari kandang kita, seperti Bhayangkara FC dan Persipura Jayapura. Pasca putaran pertama tim mengalami perombakan, beberapa pemain didepak, serta asisten pelatih dan pelatih kepala juga diganti. Tak cukup hanya dari lapangan hijau, ada persoalan lain di luar teknis yang menambah gerah di musim panas ini. Logo sakral dengan enam helai daun tembakau yang telah bertahun-tahun digunakan PSMS Medan diserang sengketa, salahsatu dampaknya membuat pihak sponsor apparel mundur dan menghentikan kerjasama. Hingga akhir kompetisi 2018 perihal sengketa logo PSMS Medan masih belum menemui kejelasan. Waktu itu benar-benar panas, bertolakbelakang dengan musim panas yang digambarkan ceria di belahan bumi beriklim sub-tropis, di Deli hanya gerahnya saja yang terasa.

Pelatih kepala yang baru telah didatangkan sejak akhir putaran pertama, tepatnya jelang laga melawan Persebaya Surabaya di Stadion Gelora Bung Tomo Surabaya. Memasuki putaran kedua beberapa wajah baru muncul mengisi slot skuad PSMS medan, secercah harapan menjaga asa untuk tidak sekedar numpang lewat di kasta tertinggi. Namun sekali lagi musim tetap berganti, musim panas menjadi musim gugur. Alih-alih beranjak menjauhi zona merah yang ada malah kian terjerembab menghampiri daftar tunggu degradasi. Fase musim gugur sangat kental terasa, meski sesekali terdapat gejolak pemantik harapan namun berhasil teredam dan seperti hanya menyisakan tumpukan dedaunan tua yang layu. Satu-persatu filosofi khas sepakbola Medan mulai memudar, Ribak Sude yang bermakna sebuah perintah untuk menghancurkan setiap penghalang seperti menghilang dan bersembunyi entah dimana, Sedangkan Spirit Of Raprap yang dimaksudkan sebagai sebuah karakter untuk tetap berjuang dan tidak menyerah pada keadaan terkesan hanya menjadi sebuah semboyan, sementara mantra Sing Sing So menjadi terdengar sayu dan tak masif lagi. Klimaksnya adalah pada saat PSMS Medan bertemu PS Tira, pertandingan ini kerap mengalami perubahan jadwal. Pada pertandingan ini PSMS Medan berstatus sebagai tuan rumah, namun laga digelar di tempat netral karena sebelumnya gagal digelar di Medan. Menghadapi PS Tira merupakan sebuah laga hidup mati, sebab setelah ini hanya menyisakan satu pertandingan, dan pada pertandingan selanjutnya PSMS Medan akan bersua tuan rumah PSM Makassar yang memiliki misi meraih juara, peluang menang sangat tipis di sana, selain itu PS Tira juga termasuk salahsatu kompetitor PSMS Medan untuk menjauhi jurang degradasi selain Sriwijaya FC, Mitra Kukar, dan Perseru Serui. Hasil akhir dari laga tersebut PSMS Medan kalah dengan skor 2-4, asa kian memudar, jauh dari hiruk-pikuk di awal 2018. Pasrah, pasrah, dan pasrah.

Sebelumnya, menanggapi kondisi PSMS Medan yang kian terpuruk kelompok-kelompok pendukung PSMS Medan juga telah melakukan bermacam aksi, seruan agar PSMS Medan lekas berbenah baik itu di luar atau di dalam stadion. Namun aksi-aksi tersebut seperti tak mendapat balasan yang memuaskan terkait prestasi tim menanggapi keresahan-keresahan yang muncul tersebut. Bagi beberapa Anak Medan, PSMS Medan bukan lagi sebatas bermain sepakbola di atas lapangan, ada sebuah semangat identitas dan marwah. Seiring perjalanannya pun ada materi dan waktu yang tak sedikit telah dicurahkan kepada hijau kebanggaan tersebut, namun yang paling penting untuk dipertimbangkan, ada cinta dan hati yang tak dapat diukur oleh materi apapun.

Pencapaian buruk PSMS Medan pada tahun 2018 terasa begitu lengkap. Setelah resmi terdegradasi dari Liga 1 2018 pada tanggal 9 Desember, seminggu setelahnya langkah Ayam Kinantan juga terhenti di fase 64 besar Piala Indonesia, kalah menang memang hal yang lumrah dalam berkompetisi, namun yang sangat memilukan adalah PSMS Medan harus menerima disingkirkan oleh Kepri Jaya 757 yang berasal dari kasta ketiga seolah menjelaskan bahwa menghadapi tim dari Liga 3 saja kita tak mampu berarti kita memang sudah tak pantas berlama-lama di Liga 1. Demikianlah 2018 ditutup oleh The Killer yang tak seharusnya menjadi The Killed. Musim gugur berubah menjadi musim dingin.

Pada tahun 2018 para pendukung PSMS Medan telah melewati tarik-ulur mental dan emosi, namun percayalah ini bukan sebuah akhir, sebab ini memang tak akan pernah berakhir. Sejarah panjang akan terus berlanjut dan dengan kebesaran jiwa kita harus mengakui dan menerima bahwa degradasi dan kasta kedua telah menjadi bagian yang mengisi sejarah panjang tersebut. Selalu ada ruang di dalam hati untuk PSMS Medan begitu pun rasa bangga, logika sekalipun tak mampu mengusik, jika logika dituntut berperan maka logika hanya akan menjadi alat untuk memperjuangkan cinta. Di satu sisi logika memang harus selaras dengan cinta, agar cinta tersebut tidak terus-menerus memabukkan dan tidak pula dibiarkan terus-menerus dipermainkan. Musim dingin ini pun akan kembali digusur oleh musim semi, berbenah jangan lagi hanya menjadi sekedar slogan, ada hati yang tak pernah jemu menanti prestasi, ada hati yang telah lama mendamba masa jaya tiba, dan ada hati yang tak pernah lelah menggoyahkan nestapa. Tatap 2019 dengan mantap, karena pada 2019 maupun seterusnya kami tetap Medan bung. Sampai mati untukmu Kinantan!

Comments

Post a Comment