Sukar Mekar Enggan Layu

Oleh : Luthfi F. A. Harahap (Bukittinggi, 01 November 2018)


Kala itu di sebuah rumah di dekat Lanud Sutan Sjahrir di Tabing, Padang.
Satu malam diawal Oktober sekitar seminggu sebelum pertandingan kontra Sriwijaya FC di Palembang saya lewati bersama beberapa orang junior dari kampus saya. Mereka adalah mahasiswa-mahasiswa dari program studi Ilmu Sejarah Universitas Andalas, yang mana salah seorang diantaranya berniat untuk mengangkat sejarah perkembangan budaya sepakbola modern sebagai topik bahasan pada skripsinya. Mereka juga penggemar sepakbola Indonesia, karena berasal dari Jakarta mereka mendukung Persija Jakarta. Walau tim yang kami dukung berbeda atas dasar sesama penggemar sepakbola nasional sudah cukup untuk dijadikan modal menjalin pendekatan komunal dalam pertemanan dan diskusi kami waktu itu. Kami mencoba memutar waktu menuju masa awal terbentuknya Liga Indonesia yang mana merupakan buah dari dileburnya dua kompetisi lawas yaitu Perserikatan dan Galatama. Diskusi berlanjut hingga ke masa kompetisi dewasa ini, pembahasan terkait kekerasan, politik praktis, dan mafia sepakbola juga menjadi bagian dari diskusi kami. Lalu mulai menjalar ke lini suporter, pelbagai pendekatan yang mengemas fanatisme di kalangan akar rumput menjadi fokus kami saat itu. Di ujung diskusi salah seorang bertanya kepada saya “Bang, lu jadi minggu depan ke Palembang?” dengan spontan saya balas “Iya, tanggal 17 dari sini. Menang pesemes ini, balek aku dari sana pesta pempek kita.” “Widih... Yakin banget lu bang haha” sahut yang lainnya lagi, dan saya kembali menjawab “entahlah, kuat aja filingku menang ini” “Hahaha semogalah” balasnya pula sambil tertawa.

Menjemput mahkota yang hilang.
Tepat sehari sebelum pertandingan saya berangkat menggunakan bus dari Padang menuju Palembang. Perjalanan darat ditempuh selama lebih kurang 18 jam. Setibanya di Palembang saya di jemput oleh seorang teman dari pendukung Sriwijaya FC yang biasa mengisi tribun barat Gelora Sriwijaya Jakabaring. Hari berlalu sore menjelma, setelah plesiran di sekitar Benteng Kuto Besak dan Pasar 16, saya bersama seorang teman sesama pendukung PSMS Medan diantar oleh tiga orang pendukung tuan rumah dari Jembatan Ampera menuju ke stadion menggunakan LRT, sebuah penampakan baru yang menghiasi Kota Palembang. Tibalah saya di stadion, Gelora Sriwijaya Jakabaring mengalami banyak perubahan menjadi lebih menarik dan tertata dari yang pernah saya temui enam tahun yang lalu, sambil bergumam di dalam hati “Ya, enam tahun berlalu, jakabaring berubah dan kali ini kami datang bukan untuk kalah!” masih segar dibenak saya PSMS Medan tumbang dua gol tanpa balas enam tahun yang lalu.

Selepas kumandang adzan maghrib waktu setempat, anak-anak Medan yang terdiri dari beberapa basis suporter seperti Kampak FC, SMeCK Hooligan, PSMS Medan Fans Club, Perantau Setia Kinantan dan teman-teman mahasiswa serta dari kalangan kelas pekerja yang menetap di Sumatera Selatan dan Jambi telah merapat ke stadion membaur menjadi satu dan mulai bergerak dari titik kumpul memasuki tribun barat lantai dua, kick-off babak pertama dimulai. Pada menit ke-40 Alexandro Tanidis menanduk bola tepat ke gawang Teja Pakualam. Skor 0-1 untuk PSMS Medan bertahan hingga turun-minum. Pada babak kedua anak-anak Medan seperti mendapat durian runtuh, alih-alih Sriwijaya FC akan membalas, justru yang ada PSMS Medan malah menambah dua gol melalui Felipe dan Shohei Matsunaga. Skor 0-3 mengunci kemenangan PSMS Medan atas Sriwijaya FC malam itu, rasa bahagia saya meluap-luap kala itu, yang ada di kepala hanyalah Ayam Kinantan menang dan Elang Andalas tumbang, setelah sekian lama akhirnya mahkota Raja Sumatera kembali ke tempat yang tepat.

Setelah pertandingan saya menuju ke hotel tempat tim PSMS Medan menginap, sebab sebelumnya saya telah membuat janji untuk bertemu dengan seorang kru media officer PSMS Medan, seorang teman baik semasa remaja di Medan. Di sana saya juga tidak sengaja bertemu kembali dengan seorang senior pentolan pendukung PSMS Medan yang sempat lama menetap di Palembang yang sebelumnya kami saling berkoordinasi terkait beberapa hal jelang pertandingan tadi. Beliau pun menawarkan kepada saya untuk menginap di tempatnya menginap, dan saya menerima tawaran tersebut. Usai bercengkrama dan menjenguk beberapa pemain PSMS Medan yang cedera pada pertandingan tadi, saya berpindah menuju ke sebuah kedai kopi di dekat hotel tersebut bersama teman-teman saya tadi sembari berdiskusi kecil sebelum istirahat.

Tim PSMS Medan dijadwalkan harus kembali ke Medan sehari setelah pertandingan, sementara saya memilih untuk meninggalkan Palembang keesokan harinya. Selama di Palembang saya sering berdiskusi perihal kondisi tim dan suporter PSMS Medan bersama teman senior saya tersebut, banyak kajian-kajian inovatif yang sangat menarik perhatian saya. Kemenangan atas Sriwijaya FC mampu menjadi stimulan untuk menjaga asa agar PSMS Medan tetap kuat melakoni sisa laga dan terhindar dari degradasi.

Dilema banteng dan kambing.
Hari itu hujan sangat deras mengguyur Kota Padang sejak menjelang siang hingga sore, dan pada hari itu saya juga sempat menghubungi orangtua saya di Medan melalui sambungan telepon dan ternyata sama, debit air cukup besar turun dari langit Medan. Sebagian orang percaya hujan adalah pembawa rezeki atau mungkin bisa jadi pertanda bahwa khayangan telah menangis atas sebuah kabar. Sore di hari itu PSMS Medan akan bersua dengan Mitra Kukar di Stadion Teladan.

Bermodalkan kemenangan tandang dengan skor telak, kepercayaan diri kami sebagai anak Medan yang mendukung Ayam Kinantan sedang berada pada titik klimaks untuk menggapai tiga poin penting yang bakal membawa PSMS Medan beranjak dari zona merah. Dengan semangat yang menggebu dan berasa sudah di atas angin, ternyata hasil pertandingan pada sore tersebut melenceng 180 derajat dari ekspektasi. PSMS Medan dipaksa mengakui kehebatan Mitra Kukar di rumah sendiri, skor 1-3 menghiasi papan skor yang berada di tribun selatan.

Semua buyar, dan bertanya-tanya apa yang salah ketika Coach Peter Buttler menghabiskan kuota pergantian pemain sebelum babak pertama usai. Untuk cedera Suhandi sepertinya dapat dimaklumi, sedangkan yang lain? Tentu jawaban pastinya hanya dapur tim yang tahu. Permainan PSMS Medan cukup ngotot pada babak pertama namun ketika babak kedua tempo permainan mulai melambat, sadar bahwa pergantian pemain tidak dapat dikehendaki para pemain Ayam Kinantan seperti menjaga agar stamina tetap stabil dan tidak banyak terkuras. Kesempatan tersebut tidak disia-siakan oleh kubu Naga Mekes yang seketika mendadak mendominasi permainan.

Kemenangan di Palembang sebelumnya menjadi terasa hambar, setelah pulang sebagai banteng di tempat orang, hari itu Ayam Kinantan harus menjadi kambing di rumah sendiri. Pertandingan selanjutnya PSMS Medan harus bertandang menuju ke Malang melawan Arema FC. Sebenarnya PSMS Medan sudah menyimpan kartu joker sebab pertandingan tersebut digelar tanpa penonton, dukungan langsung dari arek-arek Malang mampu menghadirkan sebuah unsur magis ketika mereka mendampingi Arema FC, yang artinya bahwa pada pertandingan tersebut Singo Edan telah kehilangan taring-taringnya dan sepatutnya Ayam Kinantan tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut dan bisa menjadi lebih leluasa. Badai cedera dan krisis pemain menjadi alasan dibalik kekalahan telak 5-0 pada hari itu.

PSMS Medan memiliki tujuh sisa laga, yang terdekat adalah menghadapi Borneo FC di Stadion Teladan. Kekalahan telak dari Arema FC mendadak memunculkan sikap-sikap dan spekulasi-spekulasi pesimistis baik dikalangan tim maupun suporter, sudahlah yang berlalu biar berlalu. Kesempatan masih terbuka dan waktu berbenah masih ada. Kekalahan atas Arema FC yang terakhir mengandung beberapa makna tersirat. Pertama, kita tidak dapat selalu menjadi banteng di tempat orang dan ketika itu berlaku berarti kita juga tidak boleh selalu menjadi kambing di rumah sendiri. Yang kedua, tuan rumah itu tidak berunding. Artinya kita harus sapu bersih semua laga kandang yang tersisa, cukup Mitra Kukar yang terakhir mengambil poin dari rumah kita. Jangan lagi menjadi kambing di rumah sendiri dan berjuanglah untuk bisa menjadi banteng di tempat orang.

Ada hati, ada harapan, dan ada kepercayaan kami dalam setiap pertandingan. Dalami lagi filosofi rap-rap, dan jangan kecewakan hati, harapan, dan kepercayaan yang senantiasa kami curahkan. Pernahkah terbesit bahwa ada banyak anak-anak Medan yang menunggu kebangkitan dan kejayaan Ayam Kinantan di luar sana? ada banyak anak-anak Medan yang menjadikan PSMS Medan sebagai semangat atas hidupnya yang membuatnya merasa hidup menjadi memiliki nilai dan warna. Puluhan, ratusan, bahkan ribuan, dan saya adalah salahsatunya. Jika PSMS Medan mampu memberikan sebuah arti akan hidup, maka jangan mati. Pertunjukan harus terus berlanjut, Ayam Kinantan adalah petarung, kita Medan bung! Menanglah!

Comments