Edukasi pada Pemuda Penggemar Sepakbola Indonesia dalam Mengurangi Kekerasan dan Memajukan Industri Sepakbola Modern
Oleh : Yudha P. R. Situmorang
(Sleman, 15 Oktober 2018)
”Sepakbola adalah sebuah kebahagiaan dan kecintaan,
bukan kesedihan dan kebencian. Sepakbola adalah Perayaan Hiburan, bukan sebuah
Kuburan.” – Akmal Marhali
(Sleman, 15 Oktober 2018)
Sepakbola
Adagium yang sering didengar oleh
kalangan pecinta sepakbola dunia diatas adalah bukti betapa cabang olahraga
yang satu ini sangat populer di seluruh dunia. Bukanlah suatu hal yang
berlebihan apabila kita mengatakan bahwa sepakbola adalah olahraga nomor satu
di dunia dari segi peminat. Tak sedikit nama-nama besar yang lahir dari
olahraga ini menjadi influencer (red
: orang yang berpengaruh) pada saat ini. Sebut saja Cristiano Ronaldo, Lionel
Messi, Diego Maradona, Pele, Bambang Pamungkas, dll. Sepakbola adalah sebuah
cabang olahraga yang pada dasarnya dimainkan oleh dua buah kesebelasan, yang
masing-masing kesebelasan diisi oleh sebelas pemain. Olahraga ini cukup simple dan dekat dengan masyarakat
karena dapat dimainkan hanya dengan sebuah bola, tiang gawang atau yang
menyerupainya dan sebuah lapangan. Sepakbola hari-hari ini bukan hanya sekedar
olahraga, tapi juga sebuah permainan professional yang diorganisir oleh suatu
federasi internasional yang disebut FIFA (Federation
International Football Association), yaitu Badan Indenpenden Antar Negara
yang bertugas untuk mengorganisir permainan sepakbola professional di seluruh
dunia. Dalam menjalankan tugasnya, FIFA dibantu oleh Asosiasi Sepakbola yang
dibentuk masing-masing Benua di dunia yaitu AFC (Asia), UEFA (Eropa), CAF
(Afrika), dll. Negara kita menggunakan
sebuah federasi Independen dalam mengelola permainan sepakbola professional.
Federasi itu bernama PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia).
Tak hanya diatur oleh federasi, sepakbola sebagai
salah satu cabang olahraga juga diatur dalam UU No.3 Tahun 2005 tentang Sistem
Keolahragaan Nasional. Sepakbola Indonesia adalah sebuah sepakbola modern yang
saat ini tengah berkembang dan dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat
Indonesia, melalui Liga (Kompetisi) dalam negeri. Liga Indonesia yang tengah
bergulir saat ini diikuti oleh tim-tim professional yang ada di Indonesia.
Kompetisi yang dijalankan tersebut bukanlah sekedar kompetisi dalam lapangan
saja, melainkan sudah berkembang menjadi kompetisi industri modern. Industri
Sepakbola Modern adalah Industri yang lahir dari sebuah permainan sepakbola
dengan bentuk kompetisi yang mengedepankan profesionalitas dan transparansi
guna mendapatkan keuntungan ekonomis dan psikologis bagi seluruh entitas yang
ada di dalamnya, baik itu pemilik klub, pemain, manajemen, pengelola liga,
pendukung klub (supporter), dll. Keuntungan ekonomis tersebut lahir
dari pengelolaan liga yang melahirkan bisnis dengan keuntungan yang menggiurkan
berupa : keuntungan tiket masuk pertandingan, hak siar televisi, penjualan jersey (kostum pemain), dan berbagai hal
yang termasuk industri hiburan lainnya.
Industri Sepakbola Modern hadir dalam bentuk Kompetisi dan pengelolaan yang professional mengedepankan transparansi dalam upaya meraup keuntungan bagi seluruh entitas sepakbola Indonesia. Klub-klub sepakbola professional Indonesia pada hari ini masih dalam tahap belajar mengelola klub, sebagaimana dalam perkembangannya, dahulu klub sepakbola dikelola oleh pemerintah daerah berbeda dengan kondisi sekarang dimana klub sepakbola wajib dikelola oleh swasta. Perubahan status ini membutuhkan waktu transisi yang tidak sebentar, ditandai dengan banyaknya klub professional saat ini yang masih belum baik dalam mengelola keuangan, sponsorship , dan juga rata-rata klub masih menggunakan stadion milik pemerintah daerah sebagai kandang nya. Namun upaya pengelolaan sepakbola professional hari ini terus-menerus berbenah kendati masalah kerap muncul dari tubuh Federasi Sepakbola itu sendiri. Kegiatan dan permainan sepakbola professional itu sendiri dapat menunjang perekonomian dari luar lapangan, dalam bentuk-bentuk hiburan yang termaktubkan dalam Ekonomi Kreatif seperti games, desain baju ataupun kostum, pernak-pernik klub, dan lain sebagainya yang dapat menambah cash flow ataupun keuntungan dalam permainan dan kompetisi sepakbola itu sendiri.
Industri Sepakbola Modern hadir dalam bentuk Kompetisi dan pengelolaan yang professional mengedepankan transparansi dalam upaya meraup keuntungan bagi seluruh entitas sepakbola Indonesia. Klub-klub sepakbola professional Indonesia pada hari ini masih dalam tahap belajar mengelola klub, sebagaimana dalam perkembangannya, dahulu klub sepakbola dikelola oleh pemerintah daerah berbeda dengan kondisi sekarang dimana klub sepakbola wajib dikelola oleh swasta. Perubahan status ini membutuhkan waktu transisi yang tidak sebentar, ditandai dengan banyaknya klub professional saat ini yang masih belum baik dalam mengelola keuangan, sponsorship , dan juga rata-rata klub masih menggunakan stadion milik pemerintah daerah sebagai kandang nya. Namun upaya pengelolaan sepakbola professional hari ini terus-menerus berbenah kendati masalah kerap muncul dari tubuh Federasi Sepakbola itu sendiri. Kegiatan dan permainan sepakbola professional itu sendiri dapat menunjang perekonomian dari luar lapangan, dalam bentuk-bentuk hiburan yang termaktubkan dalam Ekonomi Kreatif seperti games, desain baju ataupun kostum, pernak-pernik klub, dan lain sebagainya yang dapat menambah cash flow ataupun keuntungan dalam permainan dan kompetisi sepakbola itu sendiri.
“Football without fans
is nothing”
Apabila kita berbicara tentang
sepakbola, maka kita tidak dapat melewatkan sebuah topik : Penggemar (Supporter). Penggemar secara umum adalah
orang yang menyukai suatu klub ataupun tim sepakbola tertentu. Di Indonesia,
penggemar ini pada umumnya menyukai klub sepakbola luar negeri (non-lokal) dan
juga klub sepakbola dalam negeri (lokal). Dalam perjalanannya, para penggemar
klub sepakbola ini biasanya terkumpul dalam suatu organisasi/kelompok yang
diisi oleh para penggemar tersebut, contohnya : penggemar Klub Persija Jakarta
memiliki kelompok supporter yang
disebut The Jakmania, penggemar klub Persib Bandung dengan kelompok supporternya Viking Persib Club,
Persebaya Surabaya yang terkenal dengan nama Bonek Mania. Kelompok-kelompok supporter tersebut terbagi kedalam dua
jenis , yaitu : kelompok yang terorganisir dan kelompok yang tidak
terorganisir. Jenis kelompok yang pertama menggunakan sistem organisasi resmi
dalam kegiatan dan aktivitasnya, mereka menggunakan sistem kepengurusan, pendaftaran
anggota, membedakan anggota dan partisipan, dll, sedangkan pada kelompok yang
tidak terorganisir, biasanya para penggemar dipersatukan hanya dalam stadion
saja tanpa ada satu organisasi yang resmi menaungi mereka. Penggemar sepakbola
Indonesia yang tergabung dalam kelompok yang terorganisir ini mayoritas adalah
pemuda dengan rentang umur 10-30 tahun dan biasanya anggota kelompok pemuda-pemudi
ini lah yang aktif dalam kegiatan seperti menonton di stadion, pergi bertandang
ke kota lawan, mengadakan acara nonton bersama (nobar), dll. Sehingga tidak
salah apabila hari ini kita katakan bahwa klub sepakbola Indonesia dan
sepakbola Indonesia berhasil menjaring banyak pemuda-pemudi menjadi penggemar
dan penikmatnya.
Sepakbola
dan Supporter Lokal sebagai sebuah
permasalahan.
Sepakbola dalam negeri (lokal)
Indonesia mendapatkan animo yang cukup tinggi dari masyarakat khususnya
kelompok pemuda-pemudi pada saat ini. Namun animo yang hadir tersebut tidak
sepenuhnya tertuangkan dalam hal yang positif. Sudah bukan rahasia lagi bahwa
dalam perjalanan kompetisi professional sepakbola di Negara ini, banyak kasus
kekerasan yang terjadi di tubuh supporter
klub-klub lokal. Kasus kekerasan tersebut mayoritas terjadi akibat perselisihan
antara supporter klub yang satu dengan yang lainnya, dengan dalil “rivalitas
klub”. Sebut saja Persija Jakarta dengan seteru abadinya Persib Bandung,
Persebaya Surabaya dan Arema Malang, PSIM Yogyakarta dengan PSS Sleman.
Masing-masing pendukung dari klub-klub tersebut tidak pernah akur di setiap
pertandingan yang mempertemukan klubnya. Perseteruan ini tidak hanya di dalam
lapangan (stadion) saja melainkan sudah melebar sampai ke luar lapangan seperti
di jalan perbatasan kota. Selain itu, isu kedaerahan pun menjadi warna
tersendiri dalam rivalitas antar supporter
ini. Anthony Sutton dalam bukunya “Sepakbola : The Indonesian Way of Life” menyatakan bahwa Klub Sepakbola
Indonesia mewakili daerahnya masing-masing, begitupun dengan supporternya. Seorang pemuda Jakarta
maka kemungkian ia adalah The Jakmania, seorang pemudi Bandung maka ia
cenderung menjadi Viking Persib Club, seorang warga Batak asal Sumatera Utara
maka ia tumbuh sebagai penggemar PSMS Medan, dst sehingga rivalitas yang
terjadi dalam persepakbolaan Indonesia semakin kompleks dalam dendam yang tidak
berkesudahan.
Angka kekerasan yang terjadi akibat
rivalitas-rivalitas tersebut tergolong cukup tinggi. Mengutip data yang
dikeluarkan Save Our Soccer, jumlah
korban jiwa kekerasan sepakbola Indonesia mencapai 70 orang sejak tahun 1994,
yang menjadi catatan adalah angka korban tersebut adalah yang tercatat, masih
banyak korban-korban lainnya yang tidak terdata secara jelas, begitupun juga
korban luka berat, dll. Kekerasan yang terjadi dengan sebab yang jelas ini,
mayoritas melibatkan pemuda-pemudi yang tergabung dalam kelompok supporter yang saya jelaskan diatas.
Budaya buruk supporter sepakbola
Indonesia ini secara langsung maupun tidak langsung telah mengancam
pemuda-pemudi sebagai harapan masa depan bangsa. Apakah perilaku barbar dalam
fanatisme kebutaan menjadi cerminan pemuda-pemudi kita?
Industri Sepakbola Modern pun secara
langsung terganggu dengan adanya kekerasan dan perilaku buruk supporter sepakbola Indonesia tersebut.
Berbagai kekerasan dan kerusuhan yang terjadi mengakibatkan Federasi dan
pengelola liga memberikan hukuman kepada klub yang bersangkutan, hukuman itu
berupa larangan bertanding tanpa penonton, denda, dll. Sanksi-sanksi tersebut
dapat berimbas kepada pendapatan klub dengan domino effect kepada pemain, staff,
manajemen, pelatih, dan entitas klub lainnya. Sanksi larangan bertanding juga
berimbas kepada pelaku ekonomi sepakbola : orang-orang yang mengais rezeki dari
pertandingan seperti pedagang asongan, pengusaha transportasi, pengelola
televisi dan surat kabar, dll. Tujuan positif Industri Sepakbola Modern semakin
jauh dari harapan apabila keadaan ini terus berlanjut. Apakah pemuda-pemudi
bangsa Indonesia masih relevan kita katakan sebagai harapan masa depan bangsa
apabila hari ini pemuda-pemudi yang tergabung dalam kelompok supporter sepakbola justru menjadi
pemicu rusaknya Industri Sepakbola Modern Indonesia? Bagaimanapun juga kemajuan
Industri Sepakbola Modern Indonesia dapat terjadi apabila seluruh elemen di
dalamnya ikut maju dan berkembang sesuai industri itu sendiri, dan hal tersebut
dimulai dari para pemuda-pemudi supporter
itu sendiri.
Solusi yang dapat ditawarkan saat ini dari sudut kepemudaan adalah : Edukasi Pemuda Penggemar Sepakbola. Satu hal yang terdengar abstrak dan sukar dilakukan, tentu dengan pertanyaan besar : bagaimana cara mengedukasi massa dengan jumlah banyak dan mengemban dendam rivalitas yang sudah membeku? Kemudian, siapa yang melaksanakan dan bertanggung jawab atas upaya edukasi tersebut? Tentunya dengan sejuta pertanyaan pesimistik lainnya yang harus kita uraikan satu-persatu. Optimisme akan timbul apabila kita melihat dari upaya Negara Belgia dalam mengedukasi supporternya. Sepakbola Belgia dan supporternya kurang lebih dalam keadaan sama dengan apa yang terjadi di Negara kita, animo sepakbola tinggi, supporter kerap melakukan kekerasan, rivalitas klub yang sudah bertahun-tahun lamanya, namun sebuah klub bernama Royal Standard de Liege yang berkompetisi di liga Belgia mempelopori sebuah agenda bagi para supporternya yang dinamakan fan coaching clinic pada tahun 2007. Pada tahun 2012 organisasi Fan Coaching berhasil mendapatkan penghargaan supporter terbaik eropa atas keberhasilanya mengurangi angka kekerasan dan pertikaian di sepakbola. Kemajuan yang signifikan pun terjadi di dalam kompetisi/liga lokal Belgia dimana hak siar yang meningkat seiring animo masyarakat Eropa yang turut meningkat terhadap sepakbola Belgia, prestasi klub lokal dan tim nasional pun turut meningkat, lebih daripada itu, saat ini sepakbola Belgia turut bangga dalam hal rangking Negara FIFA yang tak pernah keluar dari 20 besar, dan berbagai prestasi lainnya. Kegiatan yang terjadi di Belgia tersebut dapat kita tiru, tentunya dengan campur tangan Federasi dan pengelola liga dalam bentuk peraturan bagi seluruh klub untuk melaksanakan upaya edukasi bagi para supporternya. Apakah masih terlalu abstrak? Bagaimana upaya riilnya? Mari kita uraikan satu-persatu.
Solusi yang dapat ditawarkan saat ini dari sudut kepemudaan adalah : Edukasi Pemuda Penggemar Sepakbola. Satu hal yang terdengar abstrak dan sukar dilakukan, tentu dengan pertanyaan besar : bagaimana cara mengedukasi massa dengan jumlah banyak dan mengemban dendam rivalitas yang sudah membeku? Kemudian, siapa yang melaksanakan dan bertanggung jawab atas upaya edukasi tersebut? Tentunya dengan sejuta pertanyaan pesimistik lainnya yang harus kita uraikan satu-persatu. Optimisme akan timbul apabila kita melihat dari upaya Negara Belgia dalam mengedukasi supporternya. Sepakbola Belgia dan supporternya kurang lebih dalam keadaan sama dengan apa yang terjadi di Negara kita, animo sepakbola tinggi, supporter kerap melakukan kekerasan, rivalitas klub yang sudah bertahun-tahun lamanya, namun sebuah klub bernama Royal Standard de Liege yang berkompetisi di liga Belgia mempelopori sebuah agenda bagi para supporternya yang dinamakan fan coaching clinic pada tahun 2007. Pada tahun 2012 organisasi Fan Coaching berhasil mendapatkan penghargaan supporter terbaik eropa atas keberhasilanya mengurangi angka kekerasan dan pertikaian di sepakbola. Kemajuan yang signifikan pun terjadi di dalam kompetisi/liga lokal Belgia dimana hak siar yang meningkat seiring animo masyarakat Eropa yang turut meningkat terhadap sepakbola Belgia, prestasi klub lokal dan tim nasional pun turut meningkat, lebih daripada itu, saat ini sepakbola Belgia turut bangga dalam hal rangking Negara FIFA yang tak pernah keluar dari 20 besar, dan berbagai prestasi lainnya. Kegiatan yang terjadi di Belgia tersebut dapat kita tiru, tentunya dengan campur tangan Federasi dan pengelola liga dalam bentuk peraturan bagi seluruh klub untuk melaksanakan upaya edukasi bagi para supporternya. Apakah masih terlalu abstrak? Bagaimana upaya riilnya? Mari kita uraikan satu-persatu.
Pertama, Edukasi supporter dapat dilakukan melalui
peningkatan akan kesadaran hukum, menurut Prof. Sudikno Mertokusumo dalam buku
“Mengenal Hukum” , Kesadaran Hukum adalah pengetahuan yang ada dalam masyarakat
untuk membedakan mana yang benar dan salah, sebuah wayah arti (dubius) dalam menentukan perbuatan yang
akan dilakukannya. Hukum sebagai senjata pamungkas pelanggaran dan kejahatan
moral harus terlebih dahulu dimengerti oleh para supporter. Klub dalam hal ini tidak semerta-merta memberikan kuliah
Hukum seperti yang saya alami di kampus saya, namun melalui sosialisasi yang
dapat dilakukan bersama pihak penegak hukum. Materi yang diberikan cukup
terkait Hak Asasi Manusia sebagai dasar Hukum, sebagai sarana menghormati
manusia satu sama lain, bahwa setiap manusia dengan hak asasi nya ada
sebagaimana ia manusia yang harus dihormati, berikutnya sanksi-sanksi dari
perbuatan pidana yang dilakukan oleh supporter apabila melakukannya. Dalam
teori Hukum Pidana, kita mengenal adanya tujuan preventif hukum, yaitu tujuan
pencegahan. Bentuk sosialisasi dan edukasi hukum pidana adalah salah satu wujud
preventif hukum, mencegah meskipun kita menganggapnya sebagai upaya
menakut-nakuti.
Selain upaya edukasi hukum dan
ketentuan yang berlaku, Federasi dan Pengelola liga juga seharusnya turut aktif
dalam menciptakan instrumen hukum yang tepat, berupa sanksi yang efektif dan
adil bagi pelaku tindak pidana kekerasan dan kekacauan di sepakbola. Semangat
kepemudaan tentunya tidak melulu tentang upaya pembangunan bangsa jangka
pendek, namun juga jangka panjang, edukasi tentang hukum bagi para pemuda
kalangan supporter ini dapat menjadi
bekal yang berharga tentunya tidak hanya di dunia sepakbolanya saja, melainkan
ketika Ia hidup bernegara dan bermasyarakat. Selanjutnya yang Kedua, Edukasi
pada pemahaman kompetisi dan rivalitas. Pengalaman historis bangsa kita
terhadap peristiwa kepemudaan adalah Kongres Sumpah Pemuda ke II tahun 1928.
Apakah Kongres tersebut hanya berbicara tentang persatuan? Tentunya tidak!
Sejarah mencatat bahwa pada kongres tersebut, diadakan sayembara (kompetisi)
menciptakan lagu kebangsaan yang dibuka bagi seluruh pemuda dan peserta kongres
pada saat itu. Sayembara tersebut dimenangkan oleh Wage Rudolf Supratman dengan
lagu Indonesia Raya yang di kemudian hari menjadi lagu kebangsaan Negara kita
hingga detik ini, kemudian tempat kedua diduduki oleh musisi terkenal dari
Tanah Batak pada masa itu yaitu Nahum Situmorang. Suasana berkompetisi di
tengah momen persatuan bangsa sudah terjadi sejak dahulu kala bahkan sebelum
Negara ini berdiri. Upaya pemulihan kita terhadap pengalaman historis bangsa
dapat kita terapkan kembali di dunia sepakbola kita hari ini. Menghormati
kompetisi dan rivalitas, memberikan penghargaan pada lawan dengan cara mengakui
kemenangan. Apakah pasca kongres, orang-orang yang kalah bersaing dengan
W.R.Supratman kelak mengacau atau menimbulkan kekerasan? Justru para pemuda
pada masa itu bersatu padu demi tegaknya bangsa ini! Hal ini pun berkaitan
dengan edukasi kebangsaan bagi para pemuda-pemudi supporter sepakbola Indonesia, bahwa pemahaman sepakbola
kedaerahaan boleh saja menjadi kebangaan dan identitas yang tak terlepaskan,
namun diatas identitas itu ada nama besar yang kita miliki secara bersama yaitu
: Indonesia. Persis seperti yang terjadi pada Sumpah Pemuda 1928, meskipun para
pemuda menggunakan nama Jong Batak, Jong Java, Jong Celebes, dll namun ikrar
yang mereka suarakan adalah Satu Bangsa! Satu Bahasa! Satu Tanah Air. Hal ini
harus terus disuarakan dan diingatkan kembali melalui edukasi-edukasi intensif
bagi para pemuda-pemudi bangsa. Edukasi pemahaman ini dapat dijadikan modal
dasar bagi para supporter dalam
mengekspresikan kegembiraannya di sepakbola.
Selain hal-hal fundamental di atas,
kampanye Fair Play juga harus gencar
disosialisasikan di dalam dan luar lapangan. Maknanya adalah, apapun hasil yang
terjadi di dalam lapangan, seluruh orang yang terlibat harus menerima keadaan
dengan lapang dada, baik itu menang maupun kalah, juara maupun tidak, degradasi
ataupun bertahan, dll. Di dalam dan luar lapangan, fair play harus tetap dikumandangkan. Bukanlah sebuah rahasia bahwa
sepakbola kita mengalami masa-masa sulit dimana praktik kecurangan dan korupsi
marak terjadi di tubuh pengelola liga dan federasi. Hal inilah yang mendasari
saya mengatakan bahwa, kampanye Fair Play
ada bukan hanya pada 2x45 menit waktu pertandingan, namun sepanjang sepakbola
ada. Perbaikan moral melalui kampanye ini harus dimulai dari tubuh federasi dan
pengelola liga, yang kemudian ditularkan kepada pihak pemuda-pemudi supporter. Apakah hanya sebatas
kampanye? Tentunya tidak! Kampanye digulirkan dengan sanksi yang keras dan adil
dari pihak berwenang yang dapat kita sebut badan independen tersendiri (di
Indonesia disebut KomDis atau Komisi Disiplin PSSI). Fair Play adalah semangat kepemudaan yang sejati, bahwa pemuda
Indonesia adalah pemuda yang berlapang dada, pemuda yang menerima keadaan. Fair Play di dalam stadion dapat
tergambarkan melalui kegiatan supporter
di dalam stadion itu sendiri, melaksanakan koreografi, menyanyikan lagu
penyemangat, berteriak dan bergembira. Hal-hal tersebut dilakukan harus
semata-semata kegembiraan tanpa ada upaya rasisme, separatis, ujaran kebencian,
dll. Semangat fair play seperti
inilah yang saya maksud, gelora kecintaan yang dibalut kreatifitas dengan
penghormatan kepada seluruh lawan dan supporter
lawan.
Apabila upaya edukasi dalam bidang moral mampu kita
laksanakan, maka saya yakini angka kekerasan tentunya akan menurun dalam
perjalanan sepakbola kita. Apabila supporter
telah bersih dari perilaku buruknya, maka kita dapat memasuki sebuah era baru :
Industri Sepakbola Modern dengan campur tangan supporter. Tentunya seperti yang saya jelaskan diatas, bagaimana
Industri ini dapat dikaitkan dengan Ekonomi Kreatif yang saat ini tengah gencar
disuarakan dan diupayakan pemerintah. Melalui PerPres Nomor 6 tahun 2015,
Presiden Joko Widodo membentuk Badan Ekonomi Kreatif yang menaungi segala
kegiatan bisnis yang meliputi aplikasi dan game
developer, arsitektur, desain interior, desain komunikasi visual, desain
produk, fashion, film, animasi video, fotografi, kriya, kuliner, musik,
penerbitan periklanan, seni pertunjukan, seni rupa, televisi dan radio. Hal-hal
berikut dapat ditemukan dalam dunia sepakbola, contohnya : Aplikasi dan
pengembangan permainan berbentuk video
games yang pada saat ini sangat diminati oleh banyak penggemar sepakbola.
Musik dan seni lainnya yang dapat memberikan ekspresi baru dalam mendukung tim
kebanggan, desain-desain yang terkait dengan merchandise / pernak-pernik klub tertentu, hal-hal yang berkaitan
dengan penerbitan, penulisan, media-media penyiaran sepakbola, dll. Banyak hal
dalam ekonomi kreatif yang berkaitan dengan Industri Sepakbola Modern, dan
pemuda-pemudi supporter dengan massa
yang besar seharusnya mampu menjadi pelaku ekonomi kreatif di Industri
Sepakbola Modern. Kegiatan edukasi ini dapat dimulai dalam kehadiran klub
memberikan kebebasan bagi para supporternya
menciptakan karya, yang selanjutnya disiarkan/dipasarkan oleh klub secara
professional tanpa melanggar hak cipta dari pembuat/supporter itu sendiri. Contohnya : Klub Professional di Indonesia
saat ini rata-rata telah memiliki merchandise
store masing-masing yang menjual kostum pemain, topi, syal, sepatu, dan
atribut lainnya bagi para penggemar. Melalui kebijakan menerima merchandise buatan supporter, klub dapat
saja menjualnya di merchandise store
masing-masing, dengan pembagian keuntungan yang adil. Hal ini akan menggerakan
kegiatan ekonomi yang telah menguntungkan banyak pihak.
Edukasi dalam bentuk kegiatan ekonomi Klub
dan Supporter ini dapat menumbuhkan
sikap berani dalam berkreasi bagi para pemuda-pemudi bangsa dalam menggerakan
roda perekonomian kecil dan menengah Negara ini. Selain itu, produk buatan supporter ini tentunya bersifat barang
lokal, dengan upaya ini secara langsung kita juga berkampanye “Bangga
menggunakan produk lokal” , hingga dalam waktu belasan hingga puluhan tahun
lagi, bukan tidak mungkin produk seperti Nike,
Adidas, Reebok (Apparel olahraga terkenal dunia) akan kalah dengan produk
dalam negeri kita. Edukasi tersebut dapat melibatkan pihak swasta, pengusaha
yang mau turut campur, dan banyak pihak lainnya. Sehingga, upaya mendukung tim
kebanggaannya dapat dibarengi dengan upaya mencapai kesejahteraan hidup.
Bukankah kita mengenal adagium : Pekerjaan terbaik adalah Hobi (Kesukaan) yang
dibayar?
Akhir dari esai ini, saya ingin
menyampaikan kembali bahwa dengan animo yang tinggi, sepakbola kita adalah
sesuatu yang berharga dan harus kita jaga. Kita harus mampu mewujudkan ayat
undang-undang yang menetapkan sepakbola sebagai olahraga prestasi, bukan hanya
di dalam lapangan namun juga di luar lapangan. Pemuda-pemudi Indonesia yang
tergabung dalam penggemar sepakbola, harus dijaga dan diedukasi, guna
meruntuhkan kerasnya perilaku buruk yang terjadi saat ini. Mengubah cara
pandang dan pola pikir pemuda harus dilakukan dalam upaya perbaikan moral
bangsa. Mencintai klub sepakbola bukanlah sebuah ajang pamer kekerasan dan
perilaku barbar, melainkan melalui cara-cara positif mendukung klub seperti
menciptakan koreografi, menyanyikan lagu penyemangat, hadir ke stadion untuk
berkarya, dan menciptakan gelora ekonomi kreatif dalam Industri Sepakbola
Modern. Apabila saya diizinkan berandai-andai, saya tersenyum membayangkan
puluhan tahun ke depan, sepakbola Indonesia semakin baik, hak siar televisi
meningkat, peminat dating dari dalam dan luar negeri, dan Industri Sepakbola
diperhitungkan dalam sumber devisa Negara. Betapa indahnya keadaan itu! Berawal
dari kecintaan terhadap sepakbola, pemuda-pemudi Indonesia menjadi harapan dan
kebanggaan bangsa Indonesia yang sesungguhnya!
Comments
Post a Comment