Kota Seribu Ketua




Oleh : Luthfi F. A. Harahap (Padang, 11 September 2018)

Layaknya perempuan yang saling memuji antara satu dengan yang lain, dorongan tersebut didasari oleh sifat alaminya bahwa perempuan cenderung sensitif dan lewat bermacam pujian muncul rasa nyaman dan dihargai. Hal tersebut bentuk analogi saya kepada karakteristik sosial di Medan saat ini.

Pada pertengahan abad ke-19 setelah pemerintah kolonial Belanda membuka perkebunan tembakau di kawasan Tanah Deli, Medan telah menjadi salah satu kota administratif yang berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi dari sisi barat Nusantara. Letaknya yang strategis di pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura yang merupakan akses transportasi menuju Selat Malaka pada tempo dulu menambah daya tarik bagi para pendahulu untuk bermigrasi ke Medan. Sejak saat itu Medan terus mengalami perkembangan pesat hingga sekarang. Sebagai destinasi para perantau, dewasa ini Medan menghasilkan produk baru bermetamorfosis menjadi sebuah kota yang multi-etnis dan sangat terbuka. Secara etimologi sebutan Medan diadopsi karena tempat tersebut bermakna sebagai medan pertemuan.

Para pendahulu kita yang merupakan para pendatang dengan membawa karakteristik tempat asalnya masing-masing melebur dengan karakteristik lokal dan beradaptasi saling menujukan bahwa mereka yang paling pantas. Hal ini yang mempengaruhi pergeseran karakteristik sosial yang kita temui saat ini. Namun, bak menghampiri sebuah oasis para perantau tersebut menemui kesamaan yaitu sama-sama membentuk zona nyaman baru di Medan inilah modal solidaritas yang diwariskan para pendahulu kepada generasi-generasi selanjutnya yang masih teguh hingga sekarang.

Modal solidaritas tersebut terkadang terlihat pudar ketika karakteristik sosial yang berada pada posisi terdesak berbuah apatis. Pada setiap pencapaian suatu hal baru pasti selalu ada hal yang turut pula dikorbankan, kemajuan pembangunan Medan ternyata mengakibatkan beberapa individu merasa terhimpit oleh keganasan ekonomi. Hal ini menjadi benih dibalik solidaritas yang telah terbentuk terkesan terselip sikap apatis. Ditengah gemerlap hedonnya Medan ternyata saat ini telah menjelma menjadi sebuah kota preman yang teroganisir.

Hierarki sosial yang mungkin diluar nalar perlahan terbentuk. Satu yang merasa kuat menghimpun yang lain yang dirasa memiliki suatu telos yang sama. Hingga akhirnya tiap-tiap individu di Medan berbondong-bondong membangun organisasi. Fenomena ini ternyata telah mengakar kuat dan menjadi budaya. Kata ketua bergeser makna menjadi sapaan akrab atau bentuk pujian dari satu individu ke individu yang lain. Fakta lain, predikat ketua menimbulkan ambisi bagi mereka yang haus pujian dan materi. Sebagian ada yang kompeten dan pantas, sementara sebagian lain hanya bermantel banal atau terobsesi pada seragam.

Sepakbola yang esensi-nya melahirkan kegembiraan, dan alat pemersatu tidak dapat menghidar dari budaya organisasi di Medan. Ada dua pendekatan sosial dalam pembentukan budaya sepakbola, yang pertama secara struktural dan yang lain adalah kultural. Sangat disayangkan jika Medan yang memiliki gairah yang antusias kepada sepakbola memilih pendekatan yang pertama, apa yang salah? Tidak ada yang patut disalahkan karena itu, budaya organisasi di Medan mungkin masih lebih mengakar dibandingkan budaya sepakbola. Kondisi di balik pagar tribun Stadion Teladan saat ini terbagi atas beberapa poros pendukung, mengapa demikian? Bukankah yang di dukung sama? Sama-sama PSMS Medan? Lalu mengapa kita harus berbeda-berbeda jika sejatinya adalah satu. Ketika pendukung sepakbola mulai diorganisir di Medan yang berbudaya organisasi, itu adalah bencana yang merusak semangat spontanitas dan maksud intuisi dari sepakbola sendiri.

Elemen-elemen komunitas pendukung PSMS Medan saat ini mungkin sadar sangat disayangkan jika peta pendukung sepakbola Medan harus terkotak-kotak, dan sadar bahwa sekat-sekat tersebut harus disingkirkan. Muncul pertanyaan, dari mana harus memulai kembali menyatukan para pendukung PSMS Medan tersebut? Jika komunitas-komunitas tersebut dihapus dan dipaksa melebur tentu masing-masing tidak dapat menerima dan mempertahankan sejarah komunitasnya masing-masing.

Saat ini tiap-tiap komunitas saling berinovasi untuk berubah menjadi lebih baik, mulai dari pola pikir dan artikulasi aksi-aksi di stadion. Jangan sampai hal-hal tersebut hanya terkesan menunjukkan bahwa komunitasnya yang terbaik, hal tersebut hanya mempertebal sekat dan memunculkan kotak baru di dalam kotak yang telah ada. Sudah saatnya kita menyatukan persepsi lewat perubahan-perubahan baik tersebut bersama kita menanamkan rasa cinta dan rasa memiliki PSMS Medan kepada seluruh warga kota Medan dan para perantau yang berasal dari Medan. Sadarilah bahwa panji-panji komunitas kita tidak lebih agung dari pada enam helai daun tembakau yang selalu disematkan di dada para pemain yang tengah berjibaku untuk Ayam Kinantan. Sadarilah bahwa tiap-tiap kelompok kita tidak akan pernah setara dengan nama yang selalu kita gelorakan, PSMS Medan.

Kembalilah ke dasar, kepada fungsi sejati seorang pendukung. Sepakbola bersifat egaliter, menyatukan, menyetarakan. Sepakbola merupakan representasi dari tatanan sosial tanpa kelas yang selayaknya didapat dinikmati oleh siapa saja. Ketika rasa memiliki akan PSMS Medan telah muncul maka kita akan benar-benar mencintai dan memperjuangkan. Sudah saatnya kita berani dan sadar menyampaikan bahwa yang benar adalah sebuah kebenaran dan salah adalah sebuah kesalahan. Karena aku, kau, dan dia kita adalah PSMS Medan !!

Comments