Hijauku dan Hijaumu (Bagian 1)
Oleh: Luthfi F. A. Harahap (Selat
Sunda, 16 Juli 2018)
Saya mulai menggerakkan jemari
ditemani dinginnya angin malam di atas kapal penyebrangan Jatra I bersama
sepuluh orang teman sesama pendukung PSMS Medan yang sama berangkat dari Medan
menuju Surabaya. Hari ini adalah hari ketiga kami dalam perjalanan tersebut,
maksud dari perjalanan ini ialah untuk menghadiri langsung pertandingan
Persebaya Surabaya melawan PSMS Medan yang akan digelar pada tanggal 18 Juli
2018 di Stadion Gelora Bung Tomo Surabaya.
Sejak lama saya sudah merencanakan
untuk menyempatkan diri menghadiri pertandingan ini. Adapun hal tersebut
didasari oleh rasa penasaran saya tentang gairah sepakbola masyarakat Surabaya
yang menurut cerita turun-temurun terkenal sangat luar biasa. Pada tulisan ini
saya sengaja mengangkat topik bahasan terkait sepakbola sebagai produk kota,
gairah sepakbola, dan sejarah singkat sepakbola Medan dan Surabaya. Ketiga
topik tersebut menurut saya sangat menarik untuk dibandingkan, sehingga bisa
dijadikan sebagai acuan untuk memperbaiki hal-hal yang dirasa perlu guna
membangun dan merawat tradisi sepakbola Medan dan Nasional.
Dalam khazanah sepakbola Indonesia
PSMS Medan dan Persebaya Surabaya terkenal sebagai dua tim hijau yang melegenda
dikarenakan selalu menjaga eksistensi sejak zaman perserikatan hingga sekarang.
Dimana kedua tim tersebut juga memiliki pencapaian prestasi bukan sekedar
kontestan peramai kompetisi. Dengan demikian PSMS Medan dan Persebaya Surabaya
selalu mendapatkan tempat di kota masing-masing, berdasarkan hal tersebut
sepakbola bergeser menjadi sebuah produk di Medan dan Surabaya.
Pada awal perkembangan peradaban
sepakbola di Nusantara, Medan dan Soerabaja merupakan kota-kota awal bersama
Batavia dan Semarang yang menjadi pintu gerbang sepakbola di Nusantara. Dimana
tiap-tiap kota tersebut membentuk relasi-relasi ke daerah tetangganya
masing-masing dalam upaya menyebarkan sepakbola. Medan membentuk rangkaian ke
seberang utara menghantarkan sepakbola menuju Pulau Pinang, dari sini sepakbola
menyebar ke Semenanjung Malaya yang saat ini menjadi bagian dari Malaysia.
Sedangkan Surabaya mengirimkan sinyal yang juga ke seberang, Makassar. Dengan
masuknya sepakbola ke daratan Sulawesi maka menjadi awal terbentuknya peradaban
sepakbola di Indonesia bagian timur. Di tempat lain, Batavia membentuk relasi
ke Bandoeng lalu menyebar ke sekitar Banten dan Jawa Barat. Semarang cukup
terbantu dalam menyebarkan sepakbola di Jawa Tengah lewat pengaruh-pengaruh yang
terbentuk dari tetanggannya di barat dan timur Jawa.
Pertandingan sepakbola pertama
digelar di Medan pada tahun 1887, dimana yang bermain bukanlah tim sepakbola
melainkan sebuah grup senam yang bernama Gymnastiek Vereniging saat itu
sepakbola dikolaborasikan dengan kriket. Peristiwa tersebut juga diyakini
sebagai pertandingan sepakbola pertama di Indonesia. Benarkah ? belum ada bukti
kuat yang mendukung pernyataan tersebut, jika benar sebagai warga Medan kita
patut berbangga namun poin pentingnya adalah lewat peristiwa tersebut kota
Medan berkenalan dengan Sepakbola. Sedangkan sebuah pertandingan pertama kali
digelar di Surabaya yaitu pada tahun 1902 antara Voorwarta II Vs THOR II
tim-tim tersebut dibentuk oleh para pekerja pabrik Belanda (lokal dan non
lokal) pada zaman itu.
Jika dikaji lebih, sungguh Medan dan
Surabaya kaya akan cerita sepakbola. Hal inilah yang membuat masyarakat kedua
kota dewasa ini senantiasa memegang teguh menjaga tradisi sepakbola di kotanya
masing-masing. PSMS Medan melawan Persebaya Surabaya bukanlah sebuah
pertandingan derby yang secara spontan memicu adrenalin, namun rivalitas yang
terjadi di antara keduanya dilatar belakangi oleh pembuktian sepakbola mana
yang lebih baik dan hijau siapa yang paling hijau. Di sisi lain PSMS Medan dan
Persebaya Surabaya merupakan produk dari dua kota besar berbeda, hal itu turut
menjadi bumbu penambah gengsi pada tiap pertemuan PSMS Medan melawan Persebaya
Surabaya. Berdasarkan alasan-alasan tersebut pertemuan antara PSMS Medan
melawan Persebaya Surabaya selalu membentuk kajian retrospektif yang
menumbuhkan nuansa klasik pada setiap pertandingannya.
Secara head to head, PSMS Medan dan
Persebaya Surabaya cukup berimbang. Yang masih segar diingatan saya saat ini
adalah Pertemuan kedua tim pada 8 Besar Piala Presiden 2018, Final Liga 2 2017
dan Play-Off ISL 2008/2009. Ketiga pertandingan tersebut berakhir dengan skor
imbang pada 2x45 menit dan terpaksa berhenti pada perpanjangan waktu dan adu
pinalti. Pada 8 Besar Piala Presiden 2018 skor akhir adalah 3-3, PSMS Medan
menang lewat adu pinalti dengan skor 4-3. Pada Final Liga 2 2017 skor akhir
adalah 2-2 pada waktu normal, pada perpanjangan waktu Irfan Jaya mencetak gol
penentu pada menit ke 2 babak pertama perpanjangan waktu yang menghantarkan
Bajoel Ijo sebagai juara Liga 2 kala itu, 2-3 untuk Persebaya Surabaya. Pada
Play-Off ISL 2008/2009 hasil pada waktu normal adalah 1-1, pertandingan inilah
yang paling dalam merasuk ke emosi saya. PSMS Medan bermain lebih dominan, pada
menit ke 33 Zada mencetak gol lewat titik putih, skor 1-0 bertahan hingga
penghujung pertandingan, namun kemenangan yang sudah di depan mata mendadak
buyar ketika petaka datang di menit 86, Fadli Hariri melakukan hands ball di
kotak pinalti PSMS Medan dan sepakan 12 pas tidak disia-siakan oleh Jairon.
Tidak ada gol yang tercipta pada perpanjangan waktu, pertandingan diselesaikan
lewat adu pinalti dengan skor 5-6 untuk Persebaya Surabaya, Okto Maniani yang
merupakan penendang terakhir gagal melakukan percobaan tendangan songket yang
sebelum sukses dieksekusi oleh Affan Lubis. Pecahlah tangis saya waktu itu,
PSMS Medan dipaksa turun ke kasta kedua.
Menjelang Final Liga 2, bapak Dahlan
Iskan menyampaikan sebuah pernyataan terkait antusiasme beliau terhadap laga
tersebut. Beliau membawa kita kembali menuju ke tahun 1992, kala itu Persebaya
Surabaya bertemu PSMS Medan di Stadion Gelora Bung Karno Jakarta. Beliau
menjelaskan pada pertandingan Semifinal Divisi Utama 1991/1992 Persebaya
Surabaya sudah kalah sejak menit awal, stadion yang didominasi oleh Bonek
ternyata tak mampu membendung masifnya lantunan Sing-Sing So yang terus menerus
dikumandangkan oleh pendukung PSMS Medan saat itu. Berakhirlah pertandingan
dengan skor 2-4 untuk kemenangan PSMS Medan. Namun, beliau menyampaikan bahwa
saat ini Persebaya Surabaya memiliki formula yang mampu mengimbangi Sing-Sing
So, misalnya lagu Song For Pride dan lagu Emosi Jiwaku.
Ya, tidak lama lagi saya akan merasakan langsung
sakralnya lagu-lagu tersebut di Surabaya. Selain itu saya juga siap menghadapi
antusiasme ribuan Bonek di rumahnya. Di atas kertas jelas PSMS Medan tidak
diunggulkan, tambah lagi dominasi para Bonek dengan gairah dan kreatifitas
mereka yang seolah memberi sinyal teror bahwa pada pertandingan tersebut
Stadion Gelora Bung Tomo akan menjadi angker bagi PSMS Medan dan para
pendukungnya. Namun begitu pun, tidak ada kata kalah sebelum peluit akhir
berbunyi.
Comments
Post a Comment