Hijauku dan Hijaumu (Bagian 2)
Oleh: Luthfi F. A. Harahap (Medan,
28 Juli 2018)
Setelah sepuluh hari pertandingan
Persebaya Surabaya melawan PSMS Medan saya baru dapat membagikan cerita saya
tentang perjalanan saya selama mendukung PSMS Medan di Surabaya, tepat setelah
PSMS Medan dikalahkan oleh Bali United dengan skor 1-2 di Stadion Teladan
Medan. Dikarenakan pada waktu sebelumnya saya juga mengalami kesulitan akses
untuk terhubung dengan media elektronik sebagai media pendukung dalam
menyelesaikan tulisan ini. Malam ini perasaan saya begitu hancur, ditambah lagi
turunnya hujan yang cukup deras seusai pertandingan, langit Medan juga seolah
ikut menangis setelah kekalahan keempat di kandang musim ini. Hal ini pula yang
mendorong saya untuk kembali melanjutkan tulisan tentang cerita saya dari Kota
Pahlawan.
Maskulinitas dan rasa malu kita
sedang berada pada titik klimaks setelah kekalahan ini, bentuk dari emosi bahwa
kita sudah bosan kalah. Terlihat di dalam stadion tadi beberapa teman ada yang
melontarkan sumpah serapah sebagai bentuk rasa kecewa namun disayangkan ada
juga yang bertindak di luar nalar hingga merugikan pihak lain, baik tim atau
pun sesama penonton. Inspirasi saya muncul di sana, menarik benang merah antara
kejadian malam ini dengan perlajanan saya di Surabaya yang lalu. Pada satu sisi
apa yang telah terjadi di stadion malam ini seolah memicu kembalinya kita
kepada budaya mentah tentang sepakbola Medan yang dewasa ini mulai bergeser
sejak mengadopsi paham-paham impor buah dari modernisasi sepakbola. Oleh-oleh
penting yang saya bawa pulang dari Surabaya yang menurut saya menarik untuk
dipahami ialah mereka teguh merawat kearifan budaya asli sepakbola di sana.
Pada tanggal 18 Juli 2018
pertandingan antara Persebaya Surabaya melawan PSMS Medan akan digelar pada
malam hari, saya bersama sepuluh orang teman yang berangkat dari Medan sudah
tiba di Terminal Purabaya sekitar pukul 5 pagi pada hari tersebut. Setelah itu
kami langsung menuju ke Wisma Persebaya yang beralamat di Jalan Karanggayam
tepat di belakang Stadion Gelora 10 November Tambak Sari mengikuti arahan dari
perwakilan Bonek yang menyambut kami di Surabaya. Seluruh pendukung PSMS Medan
yang hadir disediakan tempat untuk beristirahat di sana. Ketika hari menjelang
siang satu per satu rombongan pendukung PSMS Medan mulai berdatangan ke sekitar
Wisma Persebaya, baik itu dari daerah-daerah di sekitar pulau Jawa dan bahkan
dari luar Jawa. Tampak hadir teman-teman dari SMeCK Hooligan Jabodetabek dan
Yogyakarta yang masing-masing dengan jumlah massa satu unit minibus penuh. Ada
juga yang tidak kalah unik sehingga membuat saya terpaksa mengangkat topi, dua
orang perwakilan dari SMeCK Hooligan Bali yang mengendarai sepeda motor ke
Surabaya.
Disela rehat saya menyempatkan diri
menyinggahi kediaman kerabat saya di Surabaya. Ada hal-hal menarik yang saya
jumpai dimana sangat jarang saya jumpai di Medan. Ketika mencoba mengelilingi
Kota Surabaya terdapat banyak mural bertema Persebaya Surabaya pada
dinding-dinding di kota tersebut dan setibanya di rumah kerabat saya, saya menyinggahi
sebuah warung kecil di sana dan tak lama kemudian saya di hampiri oleh
sekelompok anak kecil yang mungkin penasaran dengan atribut saya yang berbeda.
Salah seorang dari mereka mulai mengajak saya berbincang menggunakan Bahasa
Jawa “ijo ne podo nanging ra bonek, seporter Medan ta mas?” (hijaunya sama tapi
bukan bonek, suporter Medan ya kak?), lalu saya balas sapaannya tadi “emang
kamu bonek ya? Suka Persebaya dong?” anak kecil tadi kembali menjawab “lah iya
mas”. Situasi berbalik, malah saya yang mulai penasaran dibuat oleh anak-anak
ini. Saya mulai menanyai mereka seberapa tahu tentang komposisi tim Persebaya
Surabaya saat ini hingga perbincangan terus melebar, dan jawaban yang mereka
lontarkan cukup membuat saya kagum, bahkan tentang rivalitas suporter Surabaya
yang mana tidak sepatutnya diketahui oleh anak seusia mereka pun sudah mereka
pahami.
Pada sore hari saya kembali menuju
ke Wisma Persebaya, berkumpul bersama teman-teman yang lain dan bersiap menuju
ke stadion. Dalam perjalanan menuju ke stadion kami dikawal oleh beberapa orang
Bonek, jamuannya yang ramah sangat saya apresiasi. Ketika tadi siang saya
bertemu dengan sekelompok anak kecil, kali ini saya malah menjumpai banyak
orang tua yang menemani kami dengan taksiran usia sekitar 50an hingga 60an
tahun. Sangat jarang saya melihat usia senja pergi ke stadion di Medan.
Tibalah kami di stadion, Gelora Bung
Tomo seolah mengucapkan selamat datang kepada pendukung PSMS Medan dengan
kegagahan dan keindahannya. Hati saya pun berucap “kapan kami punya kek gini di
Medan”. Kami digiring menuju tempat yang telah disediakan untuk pendukung tim
tamu, di tribun kulon masyarakat setempat menyebutnya atau tribun barat jika
diterjemahkan. Pada tiap sisi stadion saya melihat banyak banner yang berisi
tentang semangat dan pujaan terhadap Persebaya Surabaya, dan ada juga beberapa
banner yang menyematkan identitas komunitas, misalnya seperti tulisan “tribun
kidul” di sisi selatan atau “green nord” di sisi utara, selebihnya
banner-banner yang dihaturkan oleh Bonek murni semata luapan emosi dan dukungan
terhadap tim yang didukungnya. Dari sini kita dapat menarik sebuah benang merah
yang menurut saya harus kita terapkan di Medan bahwa nama dan lambang tim yang
kita banggakan jauh lebih agung dari pada embel-embel komunitas yang kita
naungi, dimana hal itu juga menjadi bukti nyata bahwa benar sepakbola adalah
pemersatu.
Pertandingan berakhir dengan skor
2-0 untuk kemenangan Persebaya Surabaya. Magisnya alunan Sing-Sing So ternyata
berhasil dibungkam oleh puitisnya lantunan Song For Pride. Kecewa? Pasti! Namun
poin yang harus diketahui ketika bermain di luar kandang ialah kita harus siap
pada kondisi kalah. Lantas perjalanan ini pantas disebut sia-sia? Misi lain
dalam melakukan perjalanan tandang adalah untuk mempelajari aspek-aspek
sepakbola di tempat yang kita kunjungi sekaligus melakukan studi banding dan
menyempatkan diri melakukan piknik sejenak di tempat tersebut.
Sebelum kembali ke Wisma Persebaya
para pendukung PSMS Medan menghampiri bus yang ditumpangi oleh official tim
PSMS Medan, menyuarakan protes atas buruknya performa tim dan mendesak pengurus
untuk segera berbenah. Aksi tersebut tetap berlangsung damai dan kondusif dan
pendukung PSMS Medan masih tetap dalam pengawalan Bonek. Setibanya di Wisma
Persebaya sempat berbincang dengan salah seorang yang dituakan dikalangan
Bonek, beliau adalah Po Dadang. Saya mulai bertanya tentang alasan mengapa
masyarakat Surabaya begitu mencintai Persebaya Surabaya, beliau memaparkan
bahwa Persebaya Surabaya lebih dari sekedar sepakbola bagi mereka tetapi sebuah
kehidupan dan tradisi. Lalu saya mulai menyinggung soal budaya sepakbola di
Surabaya yang begitu khas, beliau berpendapat hal tersebut terbentuk secara
spontan. Namun berdasarkan pada pandangan saya selama berada di Surabaya bahwa
hal tersebut tidak terlepas dari karakteristik masyarakatnya yang teguh
pendirian terhadap apa yang mereka yakini, dari sanalah mulai rasa memiliki,
dan hal tersebut menurut saya merupakan alasan kuat terbentuknya budaya
sepakbola di Surabaya khususnya Persebaya Surabaya. Selang beberapa menit saya
berbincang dengan seorang Bonek yang saya kenal sewaktu di Medan beberapa tahun
silam, saya memanggilnya Cak Slamet.
Perbincangan dengan Cak Slamet
banyak diisi dengan bercanda sehingga terasa lebih ringan. Sesekali kami larut
bernostalgia ketika di Medan dan Palembang. Selama saya mengenal beliau
tipikalnya cukup liar dan senang bereksplorasi, hal tersebut dilakukan oleh
beliau semata untuk mengikuti perjalanan mendukung Persebaya Surabaya secara langsung.
Tidak jarang beliau berpindah dari satu kota ke kota yang lain semata hanya
untuk mendukung Persebaya Surabaya. Sekitar dua bulan yang lalu saya melihat
beliau menangis dalam sebuah video yang berisi perjalanan Bonek menuju ke
Kalimantan. Pada perbincangan itu tak segan kami saling memuji, namun ada satu
pujian saya yang membuat suasana menjadi mendadak hening. Ketika beliau
bercerita tentang alasannya mendukung Persebaya Surabaya hanya untuk memenuhi
kesenangan, hasrat, dan kepuasan. Namun saya berkata lain “lebih dari itu
sekedar itu, sejauh saya kenal, hidupnya Cak Slamet ya Persebaya!”. Beliau
seketika menutupi wajahnya dengan syal yang dikalungkan di lehernya dengan mata
yang tampak berkaca lalu membalas ucapan saya tadi dengan nada sedikit rendah
“saya ikut bonek gini selain nambah saudara banyak alasan lain yang gak bisa
diterjemahkan bahasa apa pun lae kecuali bahasa kalbu”.
Dari hal-hal tersirat baik secara
oral dan visual, di dalam atau di luar stadion sejak awal saya tiba di Surabaya
dalam perjalanan saya ini, kota ini benar-benar membuat saya akan budaya
sepakbolanya yang masih natural dan sangat bergairah. Saya akhirnya dapat
menyimpulkan bahwa misi perjalanan tandang saya kali ini sudah lengkap walau
pun hasil pertandingan kurang memuaskan. Saya juga menambah waktu satu hari
untuk berwisata di Surabaya, lalu melanjutkan perjalanan ke Semarang dengan
menumpang KA Maharani jurusan Pasar Turi – Poncol. Setelah itu saya menuju ke
Jakarta dengan menumpang KA Tawang Jaya jurusan Poncol – Pasar Senen dan
memutuskan berlibur beberapa hari di Jakarta sebelum kembali ke Medan lewat
jalur udara pada tanggal 23 Juli 2018.
Comments
Post a Comment