Usab Perning : Yang Selalu Dinanti


Oleh : Luthfi F. A. Harahap (Padang, 02 Juni 2018)

Jika ditanya Maung Bandung adalah julukan dari tim apa? Sudah tentu bakal ramai yang berteriak Persib Bandung. Namun, mungkin masih belum banyak yang tahu bahwa tim kebanggaan masyarakat Jawa Barat ini memiliki julukan lain pada era 80-an yaitu Usab Perning. Beberapa bobotoh juga diketahui memberikan nama pada anaknya dengan julukan tersebut sebagai bentuk ekspresi kecintaan mereka kepada Persib Bandung. Salah satu yang paling familiar adalah Alm. Ayie Beutik (Dirijen Viking) ketika menamai seorang putrinya menggunakan julukan tersebut. Pada waktu yang sama PSMS Medan juga memiliki julukan lain yaitu The Killer. Saya sengaja mengangkat Usab Perning sebagai judul tulisan ini untuk mengajak pembaca mengingat kembali sejarah panjang pertemuan PSMS Medan dengan Persib Bandung dan yang paling agung adalah pada era 80-an.

Dalam buku “Sepakbola The Indonesian Way Of Life” oleh Antony Sutton (2017) : Bicara dengan bobotoh, anda akan segera mendengar kisah agung mereka ketika Persib melawan PSMS di final Perserikatan (liga amatir) tahun 1985 yang disaksikan oleh 150.000 penonton. (Halaman 115) Klub seperti Persib, Semen Padang dan PSMS Medan punya pendukung di penjuru negeri. Etnis-etnis ini memang banyak bermigrasi ke sudut lain negeri, entah bekerja atau bersekolah. (Halaman 123)

Saya setuju dengan tulisan Sutton yang saya kutip dari bukunya, namun saya juga menyayangkan mengapa rivalitas PSMS Medan dan Persib Bandung tidak dibahas lebih lanjut pada buku tersebut. PSMS Medan dan Persib Bandung merupakan dua tim besar yang selalu memiliki tempat di hati para pecinta sepakbola tanah air. Konon karena rivalitas keduanya yang panjang sehingga sampai disebut sebagai El Classico Indonesia.

 Mari kita simak apa yang terjadi pada final Perserikatan tahun 1985 yang dijuluki sebagai The Great Indonesian Final. Untuk keenam kalinya PSMS Medan meraih gelar juara setelah menaklukkan Persib Bandung pada pertandingan yang paling dramatis ini. Pertandingan tersebut berlangsung pada tanggal 23 Februari 1985 di Stadion Utama Senayan, Jakarta yang dipimpin oleh wasit Jafar Umar. Keberhasilan PSMS Medan mempertahankan gelar juara lewat drama adu pinalti dengan skor 4 (2) – (2) 3 disambut meriah se-antero Medan dan di berbagai daerah tingkat II di Sumatera Utara.

Sejak awal pertandingan pertahanan PSMS Medan digempur habis-habisan oleh trio Ajat Sudrajat, Wawan Karnawan, dan Iwan Sunarya yang berhasrat membalas kekalahan pada semifinal musim sebelumnya dan kiper Ponirin Meka benar-benar diuji saat itu lewat serangan mematikan dan beberapa tembakan jarak dari pemain Persib Bandung. Para bobotoh yang menguasai sebagian besar Stadion Utama Senayan, Jakarta seketika hening saat M. Siddik memanfaatkan bola silang dari kapten PSMS Medan Amrustian menjadi gol pertama bagi PSMS Medan, dan gol kedua terjadi pada menit ke-34 sekali lagi oleh M. Siddik. Babak kedua berubah menjadi milik Persib Bandung. Pada menit ke-65 terjadi handsball oleh Sunardi A. di kotak pinalti PSMS Medan, hadiah sepakan dari 12 pas lewat kaki Iwan Sunarya berhasil memperkecil ketertinggalan Persib Bandung menjadi 2-1 kala itu. Pada menit ke-74 Persib Bandung akhirnya menyamakan kedudukan lewat sundulan Ajat Sudrajat yang memanfaatkan umpan tendangan penjuru Iwan Sunarya. Memasuki babak tambahan terjadi banjir kartu, kedua kesebelasan sama-sama bermain ngotot sehingga permainan mendadak berubah menjadi lebih keras dan cenderung kasar namun tetap tidak berubah 2-2 dan pertandingan harus diselesaikan lewat adu pinalti. Penendang pinalti pertama dari kedua kesebelasan sama-sama gagal membuat gol. Pada tendangan kedua Ajat Sudrajat berhasil membobol gawang Ponirin Meka, sedangkan tendangan Amrustian melayang di atas mistar gawang Sobur. Ponirin Meka berhasil menangkap tendangan kapten Persib Bandung Adeng Hudaya, dan lewat Musimin PSMS Medan berhasil menyamakan kedudukan menjadi 1-1. Tendangan keempat Persib Bandung yang dibuat oleh Dede Iskandar juga berhasil dipatahkan oleh Ponirin Meka, namun tendangan Nirwanto juga digagalkan oleh Sobur. Masuklah pada tendangan penentuan, bola yang disepak Robby Darwis ternyata dapat ditepis oleh Ponirin Meka, sedangkan Mameh Sudiono yang melakukan tendangan pamungkas untuk PSMS Medan berhasil menjebol gawang Sobur. Para suporter PSMS Medan yang hadir kala itu mendadak histeris menyambut kemenangan mahal nan bersejarah tersebut. Seusai pertandingan ketika para penonton hendak meninggalkan tribun terdengar suporter PSMS Medan saling bersahutan dengan para bobotoh sebagai bentuk salam penghormatan, waktu itu suporter PSMS menyanyikan lagu Halo-Halo Bandung ke arah bobotoh. Begitulah budaya asli sepakbola Indonesia, hal-hal semacam itu harus tetap terjaga dan dilestarikan, budaya saling sambut dan saling menghormati khas Indonesia.

Pasca Perserikatan baik performa PSMS Medan maupun Persib Bandung sering tidak stabil, awal era Ligina Persib Bandung keluar sebagai juara di musim pertama lambat laun prestasinya naik turun dan pernah hampir terdegradasi tahun 2005. Nasib Persib Bandung masih sedikit lebih baik, PSMS Medan malah sudah pernah terdegradasi pada tahun 2002 dan bangkit kembali ke kasta tertinggi pada tahun 2004. PSMS Medan sama sekali tidak pernah menjadi juara di era Ligina, prestasi terbaiknya adalah Runner-Up pada Ligina edisi terakhir 2007/2008. Era Ligina masih lebih baik dibandingkan ISL, upaya modernisasi sepakbola yang didalangi oleh para pelaku industri sepakbola menuntut tim harus mandiri dan secara otomatis tim yang biasa mengandalkan dana APBD seperti PSMS Medan dan Persib Bandung banyak yang kewalahan seperti terkejut saat itu. Perfoma tim juga terkena imbasnya. PSMS Medan terdegradasi di musim pertama ISL, saya kurang tertarik mengenang itu cukup dijadikan acuan agar ke depan kisah-kisah menyedihkan di era ISL tidak terulang lagi. Musim 2011/2012, kala itu sepakbola tengah didera dualisme. Yang saya ingat di musim ingat ini PSMS Medan juga sempat bertemu dengan Persib Bandung, pertama pada bulan Januari di Bandung saat itu PSMS Medan Kalah 3-1, pada putaran kedua tepatnya tanggal 17 Juni 2012 PSMS Medan berhasil membalas di Medan dengan skor akhir 3-2. Harus sama-sama kita akui bahwa dari zaman ke zaman dari generasi ke generasi pertemuan Ayam Kinantan dan Maung Bandung selalu dinanti.

Pertandingan terakhir antara PSMS Medan melawan Persib Bandung berlangsung ketika di babak penyisihan grup Piala Presiden 2018 dengan skor akhir 0-2. Saya luar biasa gembira hari itu karena dua alasan, yang pertama karena PSMS Medan berhasil mengalahkan Persib Bandung di rumahnya sendiri di Stadion Gelora Bandung Lautan Api, dan yang kedua Ayam Kinantan yang berstatus tim promosi bisa membungkam Maung Bandung yang dewasa ini terkenal sebagai tim mahal bertabur bintang tanpa kebobolan.

Saya ingin membagikan cerita menarik saya tahun lalu. Terdengar kabar PSMS Medan akan melakoni uji coba  melawan Persib Bandung di Medan pada tanggal 26 Maret 2017, saya yang menetap di Kota Padang dengan rindu yang menggebu akan pertandingan ini mendadak ingin mudik. Tak lama setelah kabar tadi berhembus di media sosial, saya mendapat pesan singkat lewat akun instagram oleh seorang teman baik saya yang berasal dari Bandung “Pulang ke Medan?” “Yuklah... Barengan ni?” balas saya. Saya langsung mengecek harga tiket pesawat, karena waktu yang cukup mepet harganya pun dirasa sangat mahal saat itu. Teman saya tadi membalas pesan saya “brapaan tiket bro?” saya balas, “hampir gopek cuy, naik bus aja gimana? Berangkat ntar siang nyampe besok siang juga, tekejar kok.” Lalu teman saya membalas lagi “kuy... brangkat”. Kami pun bertolak ke Medan lewat jalur darat yang memakan waktu kurang lebih 22 jam.

Setibanya di Medan saya langsung berkunjung ke Sekretariat SMeCK Hooligan, di sana tampak tengah sibuk saat itu mempersiapkan hal-hal yang harus dilengkapi untuk di stadion nanti, dan ternyata bukan hanya saya yang mendadak mudik hari itu. Saya bertemu beberapa teman-teman yang sama-sama sudah menetap di perantauan dan sama-sama merindukan pertandingan besar itu. Antusias teman-teman yang di Medan juga luar biasa, benar kita semua sangat rindu menanti Ayam Kinantan berhadapan dengan seteru lawasnya Maung Bandung yang juga tak kalah besar. Setelah mendapatkan tiket saya langsung pulang ke rumah dan bersiap ke stadion. Tiba saat yang di tunggu, Stadion Teladan Medan mendadak penuh dengan kerumunan hijau dan terdapat sebagian kecil kerumunan biru pada sisi-sisi tribun. Pertandingan hari itu berakhir imbang tanpa gol namun sudah cukup untuk mengobati kerinduan, saya dan teman-teman pulang dengan wajah yang terlihat cukup puas dan tanpa ada gesekan sedikit pun dengan bobotoh, kami bisa berdiri berdampingan selama 2 x 45 menit.

Poin penting dari cerita ini adalah kita semua baik suporter PSMS Medan atau bobotoh benar-benar sangat menantikan pertandingan besar ini. Medan dan Bandung sama-sama memiliki fanatisme kedaerahan dan gairah sepakbola yang sangat luar biasa. Bagi Medan maupun Bandung, Sepakbola sudah lebih dari sekedar berlari dan menendang bola, namun sebagai ruang ekspresi dan jati diri masyarakatnya. Medan dan Bandung sama-sama memiliki cerita panjang tentang sepakbola, dan cerita tersebut akan terus berlanjut hingga ke anak cucu kita kelak.

Comments