Usab Perning : Yang Selalu Dinanti
Jika
ditanya Maung Bandung adalah julukan dari tim apa? Sudah tentu bakal ramai yang
berteriak Persib Bandung. Namun, mungkin masih belum banyak yang tahu bahwa tim
kebanggaan masyarakat Jawa Barat ini memiliki julukan lain pada era 80-an yaitu
Usab Perning. Beberapa bobotoh juga diketahui memberikan nama pada anaknya
dengan julukan tersebut sebagai bentuk ekspresi kecintaan mereka kepada Persib
Bandung. Salah satu yang paling familiar adalah Alm. Ayie Beutik (Dirijen
Viking) ketika menamai seorang putrinya menggunakan julukan tersebut. Pada
waktu yang sama PSMS Medan juga memiliki julukan lain yaitu The Killer. Saya
sengaja mengangkat Usab Perning sebagai judul tulisan ini untuk mengajak pembaca
mengingat kembali sejarah panjang pertemuan PSMS Medan dengan Persib Bandung dan yang
paling agung adalah pada era 80-an.
Dalam buku “Sepakbola The Indonesian
Way Of Life” oleh Antony Sutton (2017) : Bicara dengan bobotoh, anda akan
segera mendengar kisah agung mereka ketika Persib melawan PSMS di final
Perserikatan (liga amatir) tahun 1985 yang disaksikan oleh 150.000 penonton.
(Halaman 115) Klub seperti Persib, Semen Padang dan PSMS Medan punya pendukung
di penjuru negeri. Etnis-etnis ini memang banyak bermigrasi ke sudut lain
negeri, entah bekerja atau bersekolah. (Halaman 123)
Saya setuju dengan tulisan Sutton
yang saya kutip dari bukunya, namun saya juga menyayangkan mengapa rivalitas
PSMS Medan dan Persib Bandung tidak dibahas lebih lanjut pada buku tersebut.
PSMS Medan dan Persib Bandung merupakan dua tim besar yang selalu memiliki
tempat di hati para pecinta sepakbola tanah air. Konon karena rivalitas
keduanya yang panjang sehingga sampai disebut sebagai El Classico Indonesia.
Mari kita simak apa yang terjadi
pada final Perserikatan tahun 1985 yang dijuluki sebagai The Great Indonesian
Final. Untuk keenam kalinya PSMS Medan meraih gelar juara setelah menaklukkan
Persib Bandung pada pertandingan yang paling dramatis ini. Pertandingan
tersebut berlangsung pada tanggal 23 Februari 1985 di Stadion Utama Senayan,
Jakarta yang dipimpin oleh wasit Jafar Umar. Keberhasilan PSMS Medan
mempertahankan gelar juara lewat drama adu pinalti dengan skor 4 (2) – (2) 3
disambut meriah se-antero Medan dan di berbagai daerah tingkat II di Sumatera
Utara.
Sejak awal pertandingan pertahanan PSMS
Medan digempur habis-habisan oleh trio Ajat Sudrajat, Wawan Karnawan, dan Iwan
Sunarya yang berhasrat membalas kekalahan pada semifinal musim sebelumnya dan
kiper Ponirin Meka benar-benar diuji saat itu lewat serangan mematikan dan
beberapa tembakan jarak dari pemain Persib Bandung. Para bobotoh yang menguasai
sebagian besar Stadion Utama Senayan, Jakarta seketika hening saat M. Siddik
memanfaatkan bola silang dari kapten PSMS Medan Amrustian menjadi gol pertama
bagi PSMS Medan, dan gol kedua terjadi pada menit ke-34 sekali lagi oleh M.
Siddik. Babak kedua berubah menjadi milik Persib Bandung. Pada menit ke-65
terjadi handsball oleh Sunardi A. di kotak pinalti PSMS Medan, hadiah sepakan
dari 12 pas lewat kaki Iwan Sunarya berhasil memperkecil ketertinggalan Persib
Bandung menjadi 2-1 kala itu. Pada menit ke-74 Persib Bandung akhirnya
menyamakan kedudukan lewat sundulan Ajat Sudrajat yang memanfaatkan umpan
tendangan penjuru Iwan Sunarya. Memasuki babak tambahan terjadi banjir kartu,
kedua kesebelasan sama-sama bermain ngotot sehingga permainan mendadak berubah
menjadi lebih keras dan cenderung kasar namun tetap tidak berubah 2-2 dan pertandingan
harus diselesaikan lewat adu pinalti. Penendang pinalti pertama dari kedua
kesebelasan sama-sama gagal membuat gol. Pada tendangan
kedua Ajat Sudrajat berhasil membobol gawang Ponirin Meka, sedangkan tendangan
Amrustian melayang di atas mistar gawang Sobur. Ponirin Meka berhasil menangkap
tendangan kapten Persib Bandung Adeng Hudaya, dan lewat Musimin PSMS Medan
berhasil menyamakan kedudukan menjadi 1-1. Tendangan keempat Persib Bandung
yang dibuat oleh Dede Iskandar juga berhasil dipatahkan oleh Ponirin Meka,
namun tendangan Nirwanto juga digagalkan oleh Sobur. Masuklah pada tendangan
penentuan, bola yang disepak Robby Darwis ternyata dapat ditepis oleh Ponirin
Meka, sedangkan Mameh Sudiono yang melakukan tendangan pamungkas untuk PSMS
Medan berhasil menjebol gawang Sobur. Para suporter PSMS Medan yang hadir kala
itu mendadak histeris menyambut kemenangan mahal nan bersejarah tersebut.
Seusai pertandingan ketika para penonton hendak meninggalkan tribun terdengar
suporter PSMS Medan saling bersahutan dengan para bobotoh sebagai bentuk salam
penghormatan, waktu itu suporter PSMS menyanyikan lagu Halo-Halo Bandung ke
arah bobotoh. Begitulah budaya asli sepakbola Indonesia, hal-hal semacam itu
harus tetap terjaga dan dilestarikan, budaya saling sambut dan saling
menghormati khas Indonesia.
Pasca Perserikatan baik performa PSMS
Medan maupun Persib Bandung sering tidak stabil, awal era Ligina Persib Bandung
keluar sebagai juara di musim pertama lambat laun prestasinya naik turun dan
pernah hampir terdegradasi tahun 2005. Nasib Persib Bandung masih sedikit lebih
baik, PSMS Medan malah sudah pernah terdegradasi pada tahun 2002 dan bangkit kembali ke kasta
tertinggi pada tahun 2004. PSMS Medan sama sekali tidak pernah menjadi juara di era Ligina, prestasi
terbaiknya adalah Runner-Up pada Ligina edisi terakhir 2007/2008. Era Ligina
masih lebih baik dibandingkan ISL, upaya modernisasi sepakbola yang didalangi
oleh para pelaku industri sepakbola menuntut tim harus mandiri dan
secara otomatis tim yang biasa mengandalkan dana APBD seperti PSMS Medan dan
Persib Bandung banyak yang kewalahan seperti terkejut saat itu. Perfoma tim
juga terkena imbasnya. PSMS Medan terdegradasi di musim pertama ISL, saya
kurang tertarik mengenang itu cukup dijadikan acuan agar ke depan kisah-kisah
menyedihkan di era ISL tidak terulang lagi. Musim 2011/2012, kala itu sepakbola
tengah didera dualisme. Yang saya ingat di musim ingat ini PSMS Medan juga
sempat bertemu dengan Persib Bandung, pertama pada bulan Januari di Bandung
saat itu PSMS Medan Kalah 3-1, pada putaran kedua tepatnya tanggal 17 Juni 2012
PSMS Medan berhasil membalas di Medan dengan skor akhir 3-2. Harus sama-sama kita
akui bahwa dari zaman ke zaman dari generasi ke generasi pertemuan Ayam
Kinantan dan Maung Bandung selalu dinanti.
Pertandingan terakhir antara PSMS Medan
melawan Persib Bandung berlangsung ketika di babak penyisihan grup Piala
Presiden 2018 dengan skor akhir 0-2. Saya luar biasa gembira hari itu karena
dua alasan, yang pertama karena PSMS Medan berhasil mengalahkan Persib Bandung
di rumahnya sendiri di Stadion Gelora Bandung Lautan Api, dan yang kedua Ayam
Kinantan yang berstatus tim promosi bisa membungkam Maung Bandung yang dewasa
ini terkenal sebagai tim mahal bertabur bintang tanpa kebobolan.
Saya ingin membagikan cerita menarik
saya tahun lalu. Terdengar kabar PSMS Medan akan melakoni uji coba melawan Persib Bandung di Medan pada tanggal
26 Maret 2017, saya yang menetap di Kota Padang dengan rindu yang menggebu akan
pertandingan ini mendadak ingin mudik. Tak lama setelah kabar tadi berhembus di
media sosial, saya mendapat pesan singkat lewat akun instagram oleh seorang
teman baik saya yang berasal dari Bandung “Pulang ke Medan?” “Yuklah... Barengan
ni?” balas saya. Saya langsung mengecek harga tiket pesawat, karena waktu yang
cukup mepet harganya pun dirasa sangat mahal saat itu. Teman saya tadi membalas
pesan saya “brapaan tiket bro?” saya balas, “hampir gopek cuy, naik bus aja
gimana? Berangkat ntar siang nyampe besok siang juga, tekejar kok.” Lalu teman
saya membalas lagi “kuy... brangkat”. Kami pun bertolak ke Medan lewat jalur
darat yang memakan waktu kurang lebih 22 jam.
Setibanya di Medan saya langsung
berkunjung ke Sekretariat SMeCK Hooligan, di sana tampak tengah sibuk saat itu
mempersiapkan hal-hal yang harus dilengkapi untuk di stadion nanti, dan
ternyata bukan hanya saya yang mendadak mudik hari itu. Saya bertemu beberapa
teman-teman yang sama-sama sudah menetap di perantauan dan sama-sama merindukan
pertandingan besar itu. Antusias teman-teman yang di Medan juga luar biasa,
benar kita semua sangat rindu menanti Ayam Kinantan berhadapan dengan seteru
lawasnya Maung Bandung yang juga tak kalah besar. Setelah mendapatkan tiket
saya langsung pulang ke rumah dan bersiap ke stadion. Tiba saat yang di tunggu,
Stadion Teladan Medan mendadak penuh dengan kerumunan hijau dan terdapat
sebagian kecil kerumunan biru pada sisi-sisi tribun. Pertandingan hari itu
berakhir imbang tanpa gol namun sudah cukup untuk mengobati kerinduan, saya dan
teman-teman pulang dengan wajah yang terlihat cukup puas dan tanpa ada gesekan
sedikit pun dengan bobotoh, kami bisa berdiri berdampingan selama 2 x 45 menit.
Comments
Post a Comment