Menjual (Tiket) PSMS Medan ?

Oleh : Luthfi F. A. Harahap (Padang, 31 Maret 2018)

Hal tersulit yang harus dilakukan oleh pemilik modal adalah menyesuaikan harga jual dengan daya beli konsumen, namun tetap memetik laba. Secara alamiah begitu yang terjadi dalam berniaga. Mungkin begitu juga yang tengah dibahas oleh jajaran Pengurus PSMS Medan sebelum merilis harga tiket pertandingan kandang PSMS Medan tahun ini. Distribusi tiket dibagi atas 4 kategori, yaitu : Rp. 40.000,- untuk kategori tribun utara dan selatan ; Rp. 75.000 untuk kategori tribun timur ; Rp. 100.000,- untuk kategori tribun barat ; dan Rp. 200.000,- untuk kategori VIP. “Waw… !! fantastis.” Saya cukup terkejut begitu mengetahuinya. Label Liga 1 (kasta tertinggi kompetisi sepak bola Indonesia) dan prasarana stadion yang telah diperbaharui seolah menjadi alasan absolut untuk mematok harga sebesar itu. Pantaskah?

Sepak bola tidak bisa dilepaskan dari para pendukung. Ada semacam gaya tarik-menarik disana, ibarat sebuah magnet dan benda-benda logam di sekitarnya. Sepak bola adalah sebuah replika permodelan sosial yang dapat membuat masyarakat-masyarat di sekitarnya bersatu karena mendukung sebuah tim tanpa perbedaan kelas-kelas tertentu. Kesimpulannya adalah, pendukung ada untuk sepak bola dan sepak bola ada untuk pendukung. Kecintaan para pendukung kepada sebuah tim yang dibanggakannya terkadang diluapkan melebihi batas nalar normal, namun sekali lagi benar, cinta terkadang mampu melumpuhkan logika. Hal tersebut seharusnya dipertimbangkan oleh jajaran tim (baik pengurus dan pemain) dengan memberikan perhatian lebih kepada pendukung untuk tidak menimbulkan kekecewaan sehingga cinta tersebut bisa benar-benar disebut bersambut dan tak semu.

Dengan naiknya PSMS Medan ke Liga 1 tentu akan menambah daya tarik untuk mengundang masyarakat Kota Medan melihat langsung aksi Ayam Kinantan. Tak heran, pada kondisi ini hal tersebut lumrah terjadi. Saya menyebut kalangan ini adalah "para mendadak pesemes" atau "suporter latah" yang bermunculan dari antah-berantah ketika prestasi PSMS Medan sedang melejit ke atas. Harapan kita bersama semoga teman-teman "para mendadak pesemes" atau "suporter latah" tadi bisa tetap konsisten dalam mendukung dan mencintai PSMS Medan bagaimana pun kondisi yang harus dihadapi. Seandainya harapan tersebut terealisasi, barulah kita benar-benar bisa mewujudkan sepak bola khususnya PSMS Medan sebagai budaya di Kota Medan.

Pada kasus harga tiket pertandingan kandang PSMS Medan musim ini, pendukung seolah hanya dipandang sebagai konsumen yang mana berisi segerombolan orang yang berhasrat tinggi untuk menikmati pertandingan „berkelas‟ ala liga papan atas yang akan rela membayar berapa pun demi memuaskan hasrat tersebut. Ironis, cinta yang disulap menjadi komoditas sungguh tak dibenarkan. Ketika kita membahas harga pada sepak bola yang mana penikmatnya terdiri dari berbagai kalangan mulai dari tua, muda, pria, wanita, ningrat, cendikia, pedagang, buruh, petani, dan sebagainya, seharusnya keputusan mencapai sebuah harga ekuilibrium yang dapat dijangkau oleh berbagai kalangan dengan harga yang wajar. Coba fikir, pada tanggal 31 Maret PSMS Medan akan melakoni laga kandang melawan Bhayangkara FC dan pada tanggal 6 April harus bertemu Persija Jakarta yang juga di helat di kandang, dengan interval waktu 6 hari dengan tiket termurah sebesar Rp. 40.000,-, berarti jika kita hendak hadir pada kedua laga tersebut dalam waktu seminggu harus mengumpulkan uang sebesar Rp. 80.000,- itu di luar ongkos perjalanan ke stadion dan jajan. Bagi kalangan yang berkecukupan dan yang memiliki penghasilan tetap mungkin tak jadi soal, bagaimana dengan pelajar dan mahasiswa? Bisa jadi mereka harus merengek terlebih dahulu menghadap ke orang tua-nya untuk meminta uang lebih atau bahkan bertindak nekat melakukan hal-hal yang dapat merugikan dirinya sendiri atau orang lain demi memperjuangkan cinta/hasratnya untuk PSMS Medan.

Dengan mentah, sepak bola belum sepenuhnya menjadi budaya atau pun gaya hidup di tengah-tengah masyarakat Kota Medan. Contoh saya bandingkan dengan Jakarta, pada final piala presiden Februari lalu, kebetulan saya hadir di sana mendukung langsung PSMS Medan melawan Sriwijaya FC pada perebutan tempat ketiga, berada di kategori II denga harga tiket yang dibandrol sebesar Rp. 100.000,- sedangkan tiket termurahnya sebesar Rp. 75.000,-. Saya rasa harga tersebut wajar untuk sebuah partai final yang diselenggarakan di Stadion Utama Gelora Bung Karno dengan kapasitas mencapai sekitar 80.000 dengan pra-sarana yang sangat menakjubkan. PSMS Medan VS Sriwijaya FC di gelar sore hari, saat itu stadion masih sangat longgar hanya diisi oleh pendukung kedua tim dan beberapa pendukung Persija Jakarta yang sudah masuk terlebih dahulu. Laga pamungkas digelar pada malam harinya, giliran Persija Jakarta VS Bali United. Gairah masyarakat Jakarta saat itu tumpah ruah, di satu sisi karena tampil di final dan di sisi lain menyampaikan kerinduan mereka menyambut kembalinya si macan ke rumah. Tiket ludes, bahkan banyak pendukung Persija Jakarta yang terlantar di sekitar Komplek ISTORA Senayan karena tidak memiliki tiket. Itu pula yang membuat saya dan kawan-kawan baru bisa meninggalkan kawasan stadion setelah babak pertama Persija Jakarta VS Bali United usai. Tidak berhenti di situ, kemacetan parah yang terjadi di sekitar Komplek ISTORA Senayan memaksa kami berjalan kaki menghampiri mobil jemputan yang parkir di dekat Stasiun Palmerah. Selama berjalan kaki masih saja terlihat pendukung Persija Jakarta di jalan-jalan yang kami lewati, seolah tak ada habisnya. Dari cerita saya tadi, dapat disimpulkan bahwa tingkatan Pendukung Persija Jakarta menganggap sepak bola sebagai budaya sudah lebih di depan dari pada kita. Muncul sebuah pernyataan “ya itu kan final, wajarlah.” Sebagaimana yang kita ketahui, Persija Jakarta belakangan ini selaluberpindah-pindah kandang dan para pendukungnya rela mengikuti dengan jumlah massa yang bisa dibilang tidak sedikit, jawaban singkat yang membuat penyataan tersebut terbantahkan. Satu lagi yang menarik perhatian saya, ada banyak pasangan muda-mudi sepantaran saya dengan dandanan nyentrik lebih memilih pergi ke stadion dari pada nongkrong di cafe atau ke bioskop, itu juga saya temui pada malam itu. Kebetulan saat itu juga malam minggu. Artinya sepak bola juga sudah merupakan bagian dari gaya hidup di sana. Di Medan, dengan harga tiket termurah Rp. 40.000,- masih belum tentu dengan mudah bisa kita temui pemandangan seperti itu. Dengan kondisi budaya, sosial, dan ekonomi yang berkembang di tengah masyarakat Kota Medan khususnya penikmat sepak bola, sudah tepatkah harga tiket yang dirilis tersebut?

Berbicara budaya sepak bola, Surabaya tentu bukan newbie, bal-balan (sepak bola dalam istilah di Jawa Timur) sudah amat sangat mengakar dan berkamuflase secara alami menjadi „emosi jiwa‟ di tengah masyarakat Kota Surabaya, sampai ada beberapa buku yang khusus mengangkat tema tentang gairah sepak bola di Surabaya, seperti “Bonek: Komunitas Suporter Pertama dan Terbesar di Indonesia” karya Fajar Junaedi dan “Imagined Persebaya: Persebaya, Bonek, dan Sepak Bola di Indonesia” karya Oryza A. Wirawan. Sekitar seminggu yang lalu Bonek (sebutan pendukung Persebaya Surabaya) melakukan sebuah aksi solidaritas menolak untuk menghadiri pertandingan uji coba antara Persebaya Surabaya VS Sarawak sebagai bentuk pemboikotan karena harga tiket pertandingan dirasa terlalu mahal. Surabaya dengan budaya sepak bola yang lebih alot dan khas, dengan stadion cukup megah yang memiliki sistem drainase terbaik di Indonesia, merasa bahwa harga Rp. 50.000,- (tiket termurah pertandingan itu) masih tidak wajar untuk dapat diterima oleh sebagian kalangan diantara para pendukung Persebaya Surabaya. Haruskah kita melakukan hal sama di Medan? Atau membiarkan hingga Tuan dan Nyonya jajaran Pengurus PSMS Medan sadar? Musim lalu di Padang, Semen Padang FC membagi distribusi tiket atas 3 kategori, yaitu : kategori tribun utara dan selatan Rp. 35.000,- ; kategori tribun timur Rp. 50.000,- ; dan kategori tribun barat Rp. 100.000,-. Praktis para penonton tertumpuk di tribun utara dan selatan, sedangkan di tribun timur dan tribun barat populasinya bak diambang kepunahan. Walau Medan dan Padang sama-sama perlu pembenahan dalam penanaman budaya sepak bola, setidaknya budaya sepak bola di Medan sudah memiliki bentuk yang sudah siap untuk diasah, sedangkan di Padang budaya sepak bola berkembang masih sangat lambat. Sampai pada penghujung musim ketika Semen Padang FC berada di bawah bayang-bayang degradasi dan stadion sangat jauh dari kata penuh, Semen Padang FC mulai ditinggal sebagian besar pendukungnya. Muncul sebuah inisiatif untuk meng-gratis-kan tiket pertandingan 2 laga kandang terakhir, karena Semen Padang FC membutuhkan kekuatan tambahan dari pendukungnya. Hasilnya cukup efektif, penonton membludak. Saya sempat datang ke stadion ketika Semen Padang FC VS Perseru Serui, kebetulan sudah 5 tahun ini saya tinggal di Kota Padang menyelesaikan studi Strata-1 di Universitas Andalas. Sayangnya apa yang dilakukan tersebut sia-sia dan terlambat, sebab tetap tak mampu menyelamatkan Semen Padang FC dari degradasi. Semoga apa yang dialami Semen Padang FC dapat dijadikan pelajaran berarti oleh Pengurus PSMS Medan agar hal tersebut tidak terjadi di Medan.

Pada dua alenia sebelumnya saya cenderung membandingkan dari sisi budaya, sosial, dan ekonomi masyarakat. Pada alenia ini saya akan membandingkan dari sisi sarana tempat pertandingan digelar yaitu stadion. Kembali ke tahun 2012, musim terakhir PSMS Medan tampil pada kasta tertinggi sepak bola Indonesia sebelum terjungkal ke kasta kedua dan naik lagi pada musim ini. Pada musim itu tepatnya bulan April, saya melakukan perjalanan selama 3 hari 2 malam dari Medan menuju Palembang dengan menggunakan bus, mengejar laga tandang Sriwijaya FC vs PSMS Medan di Stadion Gelora Sriwijaya Jakabaring Palembang. Saat itu tidak ada kelompok suporter PSMS Medan yang berangkat dengan massa yang banyak, jadi saya melakukan perjalanan hanya berdua bersama seorang kawan yang perjalanannya jauh lebih panjang demi menemani PSMS Medan di kandang lawan. Beliau adalah Ali Bani Adam Gultom (Sekretaris Umum SMeCK Hooligan saat ini) atau yang akrab disapa Bani, pada musim ini beliau juga menyempatkan untuk menyinggahi Stadion I Wayan Dipta Gianyar untuk mendukung langsung pertandingan perdana PSMS Medan melawan Bali United. Sesampainya di Palembang tentu tidak kami tidak hanya berdua, ada banyak kawan-kawan anak Medan sesama pendukung PSMS Medan yang berasal dari Palembang dan sekitarnya dan daerah-daerah lain di luar Sumatera Selatan. Sang surya telah terbenam, tibalah kami di stadion tepatnya di tribun timur. Pada waktu itu tiket pertandingan dibandrol seharga Rp. 15.000,- dengan fasilitas tribun tertutup, kategori menengah. Kategori termurahnya adalah tribun utara dan selatan. Pada tahun 2012, Stadion Gelora Sriwijaya Jakabaring Palembang adalah yang termegah di Pulau Sumatera, jika dibandingkan dengan Stadion Teladan Medan cukup besar intervalnya. Tetapi, pada musim itu tiket termurah di Stadion Teladan Medan justru masih lebih mahal dari pada tiket kelas menengah stadion termegah di Pulau Sumatera. Saya masih menyimpan beberapa potongan tiket pertandingan kandang PSMS Medan pada ISL 2012 dan harga yang tercantum di sana adalah sebesar Rp. 30.000,-, itu adalah tiket kategori tribun terbuka (utara-timurselatan), yang termurah saat itu. Kenapa bisa seperti itu? masih belum ada sebuah teori empiris yang cukup solid untuk menjawabnya. Inilah yang disebut sebagai patologi sosial sepak bola. Hal-hal seperti inilah yang menghambat perkembangan budaya sepak bola di tengah masyarakat Kota Medan.

Saat ini pengurus PSMS Medan kembali memaparkan sebuah alasan klasik bahwa hasil penjualan tiket tersebut tidak lain adalah untuk membantu pemasukan pendanaan tim, apa kurang cukup pemasukan dana dari „pernak-pernik‟ yang menempel di jersey musim ini sebagai ongkos PSMS Medan berlaga di Liga 1? Sehingga sampai harus menodong dana kepada para pendukung? Haruskah kita membayar mahal untuk masuk ke rumah kita sendiri? Secara pribadi, berapa pun harga yang harus dibayar untuk selembar tiket pertandingan PSMS Medan akan saya lakukan seribu satu cara atas dasar rasa cinta saya kepada PSMS Medan untuk mendapatkannya. Hiraukan saya soal itu, perhatikan lagi semangat adik-adik kita yang kelak akan meneruskan estafet untuk membudayakan PSMS Medan, perhatikan lagi kawan-kawan kita yang mungkin karena suatu hal merasa terberatkan dengan harga tiket sebesar itu. PSMS Medan adalah kita, ini bukan tentang berniaga, bukan tentang untung rugi, tetapi bagaimana setiap lapisan masyarakat Kota Medan dapat merasakan memiliki PSMS Medan. Sepak bola tidak untuk dikomersialisasi!! tanpa harus kita membeli secara de jure, secara de facto PSMS Medan adalah milik kita semua.

Comments