Duel Klasik, Ayam dan Macan Urban Musafir.
Oleh : Luthfi F. A. Harahap (Padang,07 Februari 2018)
Sudah lama saya menantikan PSMS Medan kembali berhadapan dengan
Persija Jakarta dan akhirnya, kedua tim sarat sejarah ini akan berjumpa kembali
pada laga semi-final Piala Presiden 2018. Kegembiraan saya pecah begitu
tendangan pinalti terakhir Persebaya Surabaya yang dieksekusi oleh Osvaldo Hay
digagalkan oleh Abdul Rohim. Yang artinya, PSMS Medan berhak untuk
melanjutkan langkahnya pada turnamen pra-musim ini. Keesokan harinya saya
cukup menikmati gol indah Bambang Pamungkas yang mengunci kemenangan
Persija Jakarta 1-3 atas Mitra Kukar, dan ada semacam kerinduan yang
menyambut kegembiraan saya kemarin yang hanya bisa diluapkan lewat teriakan
“Goooolll… Bang Bepe !! Yeaay jumpa Persija !!” begitulah kira-kira spontan
keluar dari mulut saya.
Tentu, Persija Jakarta bukanlah lawan baru bagi PSMS Medan. Sejarah
mencatat keduanya pertama kali bertemu pada tahun 1952 dan pada Perserikatan
1975 PSMS Medan dan Persija Jakarta keluar sebagai juara bersama. Sampai saat
ini saya masih bingung untuk mengelompokkan kejadian ini sebagai sejarah
romantis atau sejarah kelam, mengingat pertandingan final yang digelar pada
tanggal 8 November 1975 itu terpaksa dihentikan karena terjadi kerusuhan di
tengah lapangan antara kedua tim. Peristiwa juara bersama ini baru satu kali
terjadi pada turnamen sepak bola profesional di Indonesia atau mungkin di dunia.
Melihat sejarah terbaru, kedua tim terakhir kali bertemu pada ISL 2012.
Pada tanggal 30 Maret 2012 putaran pertama bergulir di kandang PSMS Medan
yang digelar di Stadion Baharoeddin Siregar Lubuk Pakam, Deli Serdang
dikarenakan kondisi Kota Medan saat itu sedang tidak kondusif untuk menggelar
pertandingan dengan maraknya demo penolakan kenaikan BBM. Pada hari itu
seketika Jalan Lintas Sumatera Medan - Lubuk Pakam mendadak berwarna hijau
dipenuhi oleh suporter-suporter Ayam Kinantan, tak mau kalah dengan pihak tuan
rumah Macan Kemayoran juga datang bersama 5 bus rombongan Jak Mania
langsung dari Jakarta dan dari beberapa kota-kota di Sumatera. Pada pertandingan
tersebut keduanya harus rela berbagi angka dengan skor akhir 3-3. Bambang
Pamungkas adalah sosok yang menyulitkan PSMS Medan meraih poin penuh di
kandang. Si macan persija itu adalah aktor dibalik tiga gol yang bersarang ke
gawang Markus Horison pada hari itu. Sementara itu, tiga gol Ayam Kinantan
disumbang oleh Osas Saha dua gol dan Nico Malau satu gol lagi. Pada putaran
kedua tanggal 14 April 2012 bermain di Stadion Utama Gelora Bung Karno di
Jakarta, PSMS Medan takluk 1-0 lewat gol tunggal dari Bambang Pamungkas.
Satu hal lagi yang tak boleh dilupakan tentang hubungan PSMS Medan dan
Persija Jakarta adalah Piala Emas Bang Yos. Sebanyak 3 kali Ayam Kinantan
menjuarai helatan Sutiyoso tersebut. Piala pertama diangkat di Stadion Utama
Gelora Bung Karno pada tanggal 13 Februari 2005 setelah PSMS Medan
memukul mundur perwakilan Singapura, Geylang United, dengan skor akhir 5-1.
Christian Carrasco bintangnya pada hari itu. Sedangkan yang lainnya diangkat di
Stadion Lebak Bulus, yaitu pada tanggal 17 Desember 2005 setelah
menumbangkan Persik Kediri 2-1 lewat dua gol dari Alcidio Fleitas dan pada
tanggal 15 Desember 2006 setelah memenangkan drama adu pinalti melawan
PSIS Semarang dengan skor akhir 1 (4) – (2) 1. Memang dari ketiga laga puncak
tersebut PSMS Medan tidak bersua dengan Persija Jakarta, namun, pesta sepak
bola yang sejatinya milik Jakarta tersebut telah berhasil dipatenkan dan dibawa
pulang permanen ke Medan. Ini bisa dijadikan salah satu bahan cerita menarik
buat dipamerkan menjelang laga semi-final Piala Presiden yang akan digelar pada
tanggal 10 dan 12 Februari 2018.
Selain nama besar PSMS Medan dan Persija Jakarta ada hal lain yang
menarik pada laga yang amat saya tunggu ini. Setiap tim memiliki kesempatan
untuk menjadi tuan rumah, artinya akan tersaji dua pertandingan yang berkaitan
antara satu dengan yang lain. Yang menarik di sini adalah kedua laga tersebut
akan dilaksanakan di tempat yang sama. Bukan di salah satu kandang kedua tim
yang akan bertanding namun di Stadion Manahan Surakarta. Mengapa hal ini bisa
terjadi?
Medan dan Jakarta merupakan dua kota besar yang terkenal berisi
bangunan-bangunan megah nan tinggi khas metropolitan, dampak modernisasi
sangat jelas menyinggahi kedua kota tersebut. Walau memiliki kultur yang
berbeda, namun kondisi sosial masyarakatnya cenderung sama, sangat heterogen.
Berbagai agama dan kepercayaan diterima cukup baik, multi-etnis, dan terdiri
dari berbagai lapisan sosial. Sehingga hal-hal tersebut dapat membuat modernisasi
berkembang pesat.
Lalu, apakah modernisasi selamanya berdampak positif? Untuk siapakah
modernisasi itu ada? Yang diharapkan dari modernisasi adalah sebuah perubahan
menuju kemajuan. Tetapi pada satu sisi kehadiran modernisasi seolah
mengesampingkan sepak bola yang sudah dianggap menjadi budaya oleh sebagian
kalangan. Menurut Delvira C. Hutabarat pada tulisannya yang berjudul So Called
Hooligan dalam buku Pemain Kedua Belas (2013), identitas bukan sesuatu yang
telah jadi, melainkan sesuatu yang harus dibangun. Alasan seseorang mendukung
sebuah tim sepak bola misalnya, kesamaan asal daerah, itu menunjukan bentuk
dukungan kepada suatu gagasan.
Dari tindakan tersebut, muncullah tindakan-tindakan lain yang dilakukan
untuk mengungkapkan kecintaan orang tersebut yang menjadi kebiasan yang
dapat disebut sebagai budaya. Karena Budaya adalah penanda sebuah identitas.
Sejatinya sepak bola adalah milik rakyat, bukan hanya sekedar olahraga atau
permainan semata, dampak dari sepak bola mampu memberi ruang ekspresi bagi
masyarakat dan dapat dijadikan sebagai alat pemersatu, egaliter, tidak ada
pembeda kelas sosial dalam sepak bola.
Seharusnya pemerintah daerah atau pihak-pihak yang memiliki wewenang
memberikan perhatian lebih kepada perkembangan sepak bola di daerahnya
masing-masing. Baik itu soal prestasi, sarana, dan pra-sarana tim yang sudah
dianggap sebagai ikon di daerah itu. Di Medan terdapat sebuah stadion yang biasa
dipakai PSMS Medan sebagai tempat untuk menggelar pertandingan kandang
yaitu Stadion Teladan Medan. Kondisi yang terjadi saat ini adalah Stadion
Teladan Medan masih dinyatakan belum layak untuk menggelar pertandingan
profesional Liga 1 dikarenakan penerangan, kondisi lapangan, dan ruang-ruang
khusus lain yang dianggap penting belum memenuhi standar yang ditetapkan oleh
pengelola liga. Benar, bahwa ada upaya dari Pemko Medan untuk memperbaiki
itu namun, itu pun setelah adanya tuntutan dari massa suporter yang turun ke
jalan. Satu lagi, apa yang dilakukan Pemko Medan saat ini terkesan tergesatergesa.
Lain halnya di Jakarta, Setelah Stadion Menteng dan Stadion Lebak Bulus
tidak bisa lagi digunakan oleh Persija Jakarta, Macan Kemayoran hanya
mengandalkan Stadion Utama Gelora Bung Karno untuk dapat menggelar laga
kadang di Jakarta. Kondisi saat ini Persija Jakarta juga terancam menjadi musafir
„lagi‟ dalam mengarungi musim 2018. Alasan yang pertama adalah Stadion
Utama Gelora Bung Karno bakal dipakai sebagai salah satu venue di Asian Games
tahun ini. Alasan yang kedua, pihak pengelola stadion dirasa mematok harga sewa
yang terlalu tinggi oleh pihak Persija Jakarta jika diizinkan untuk digunakan.
Kedua kota tersebut memiliki gairah yang cukup luar biasa terhadap sepak
bola. Melihat kondisi tersebut, ketika gedung-gedung pencakar langit bisa dengan
mudah mengangkang dengan biaya pembuatannya yang sudah pasti tak murah
dan kegunaannya yang belum tentu bisa dicicipi oleh seluruh lapisan masyarakat,
begitu mahalkah harga yang harus dipenuhi untuk menyiapkan sebuah stadion
yang layak? Atau, sudah tidak ada lagikah ruang untuk sepak bola? Melihat gairah
masyarakat kepada sepak bola di Medan dan di Jakarta, untuk menyiapkan sebuah
stadion yang layak, masyarakat yang antusias jelas akan mendukung penuh proses
realisasi-nya. Karena yang diinginkan warga Kota Medan khususnya fans PSMS
Medan, PSMS Medan harus bermain di Medan. Begitu juga warga Kota Jakarta
khususnya fans Persija Jakarta, Persija Jakarta harus bermain di Jakarta.
Ternyata, dibalik reuni dua seteru klasik ini pada semi-final Piala Presiden
2018 ada harapan tersirat yang harus diperhatikan. Besar harapan pecinta PSMS
Medan agar pada musim 2018 Ayam Kinantan dapat menjamu tetamunya di
rumah sendiri yaitu di Kota Medan. Begitu pun pecinta Persija Jakarta yang
mungkin tak ingin lagi menjadi musafir, sudah saatnya Persija Jakarta pulang ke
rumah yang sebenarnya di Ibukota Indonesia. Semoga Ayam dan Macan urban ini
pada Liga 1 musim 2018 benar-benar bisa merasa suasana kandang di habitat
aslinya, di antara concrete jungle.
Comments
Post a Comment